Baca e-Book Bajakan Nggak Bikin Kamu Jadi Keren!

CIANJURUPDATE.COM – Buku digital atau e-Book merupakan salah satu pembaharuan dalam dunia literasi. Di lingkungan perkuliahan, banyak yang memanfaatkan e-Book sebagai sarana mencari referensi dan belajar, tetapi masih banyak yang salah kaprah dalam penggunaannya. Banyak yang berpikir bahwa membaca e-Book bajakan artinya memelihara budaya literasi, padahal it’s a big no!

Pada dasarnya, buku digital muncul sebagai alternatif buku fisik. Buku digital bisa dibaca melalui gawai apapun, baik itu ponsel, tablet, sampai laptop. Meskipun memiliki media yang berbeda, perlakuan buku digital dan fisik tentu saja tidak banyak perbedaan, untuk membacanya, kita tetap harus membelinya.

Tetapi di Indonesia, membaca e-Book bajakan yang diunduh secara bebas di luar sana sudah menjadi budaya yang melekat. Padahal, Sejak lama Google, Amazon, dan Apple menyediakan platform bagi kita untuk membeli dan membaca e-Book secara legal. Pengguna ponsel Android pasti kenal dengan aplikasi yang namanya Google Play Book, di sana lah kita bisa membeli e-Book dan membacanya dengan legal.

Apabila memang malas membeli buku dan hanya digunakan untuk mencari referensi, aplikasi iPusnas bisa menjadi alternatif. Selain iPusnas, ada juga aplikasi seperti e-Perpus milik Gramedia atau aplikasi Gecoo milik Dinas Arsip dan Perpustakaan Kabupaten Cianjur yang belum lama ini sudah dilaunching.

Jika buku digital yang dicari tidak ada, apa susahnya beranjak dari tempat tidur dan pergi ke perpustakaan. JIka masih tidak ada, sisihkan uang jajanmu itu dan belilah buku. Terkadang, saya berpikir bahwa mereka yang ingin membaca buku tapi enggan membeli adalah mereka yang tidak percaya dengan investasi ilmu.

BACA JUGA: BKPSDM Cianjur Segera Terapkan Aplikasi Terintegrasi

Rasanya berat untuk membeli buku seharga Rp50 – Rp60 ribu padahal, setiap minggu kita bisa ngopi di coffee shop. Maka dari itu, mindset seperti ini yang perlu diubah sejak dini sehingga buku bajakan baik dalam bentuk fisik atau digital bisa diberantas.

Sayangnya, budaya membaca buku digital bajakan ini juga didukung oleh para akademisi di kampus. Sebagian dosen malah mempersilakan mahasiswanya untuk membaca buku digital bajakan sebagai bahan referensi. Gilanya lagi, mahasiswa pun mengiyakan dan setuju dengan pendapat tersebut.

Padahal, membaca e-Book bajakan sama saja kita memberangus industri buku dan budaya literasi yang ada. Buku digital dan fisik memiliki proses produksi yang sama, bedanya bukunya tidak dicetak. Dalam menerbitkan buku digital, ada editor yang senantiasa melakukan proofreading, desainer grafis yang membuat sampul, dan yang terpenting, penulis yang menghabiskan sebagian masa hidupnya untuk menciptakan gagasan dan pemikiran.

Apakah tega kita menghilangkan penghasilan mereka? Beberapa pembaca e-Book bajakan mungkin beranggapan bahwa yang terpenting adalah ilmu dalam buku tersebut. Nah, pertanyaannya, siapa yang memberikan ilmu di buku tersebut? Penulis! Maka, untuk membalasnya apakah kita akan memberangus penghasilannya? Pikir lagi.

Di tengah masyarakat yang literasi-nya masih rendah, perlu pembiasaan terhadap budaya literasi yang legal, aman, dan nyaman. Sehingga, penulis pun semangat untuk berkarya, penerbit semangat menerbitkan buku berkualitas, sehingga di masa depan, Indonesia punya arsip keilmuan yang kaya.

Dengan berhenti membaca e-Book bajakan, kita secara perlahan membantu Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Indonesia meningkat. Selain itu, ekonomi di industri buku pun bertumbuh, dan lain sebagianya. Jangan berpikir ilmu yang ada dalam e-Book tersebut muncul sendirinya. Jangan kira, membaca e-Book bajakan itu keren, karena itu malah membuat kamu semakin bodoh.

Penulis: Afsal Muhammad

Exit mobile version