CIANJURUPDATE.COM – Kunjuang studi ke Kampung Naga di Desa Neglasari, kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, sudah terencana sejak lama. Namun pada 23 Oktober 2019 rencana tersebut direalisasikan, saya berangkat naik bus pariwisata bersama rombongan.
Awalnya rencana keberangkatan pukul 04.00, namun kaera waktu untuk salat subuh sudah dekat, akhirnya saya melaksanakan salat subuh terlebih dahulu. Setelah melaksanakan salat telah selesai, akhirnya saya berangkat pada pukul 04.40 yang sebelumnya diawali dengan berdoa terlebih dahulu yang dipimpin oleh salah seorang.
Saya sangat menikmati suasana perjalanan, fajar yang nampak di langit jalanan yang perlahan hilang terganti oleh matahari dan pemandangan pegunungan Garut. Pada tepat pukul 07.00 bus yang saya tumpangi tiba di parkiran, lebih awal dari waktu yang saya perkirakan.
Monumen Kujang
Lalu saya mengambil foto bagian depan Kampung Naga, yang terdapat sebuah monumen Kujang berisi pusaka-pusaka bersejarah dari berbagai tempat. Setelah berfoto, saya menyempatkan untuk sarapan karena saya tidak sempat memakan bekal yang saya bawa di bus.
Tak lama kemudian saya dan rombongan disambut dua orang pemandu yaitu Bapak Iin dan Bapak Tatang Sutisna. Sesuai yang telah ditentukan saya mengikuti bapak Tatang sebagai pemandu, saya menuruni sekitar 335 buah anak tangga untuk sampai ke Kampung Naga
Di tengah perjalanan ada seorang pelukis dengan teknik lukis tangannya yang unik dan lukisannya yang indah berobjek Kampung Naga. Sambil berjalan, pak Tatang menjelaskan hal-hal yang terdapat di Kampung Naga, saat melewati pesawahan, sungai, dan hutan yang nampak di sebrang sungai.
Sungai yang bernama Ciwulan dan di sebrangnya merupakan Leuweung Larang. Saat dekat sawah, dijelaskannya bagaimana sistem pengolahan sawah dan berbagai jenis padi yang ditanamnya. Dan memenag nampak air sungai yang tidak surut meski telah kemarau panjang, membuktikan Kampung Naga ini mendapatkan pasokan air yang baik untuk mengolah pertaniannya nalong/kolam ikan yang cukup banyak.
Terlihat airnya normal-normal saja dengan volume yang stabil. Ikan-ikan yang diternak masyarakat adat Kampung Naga begitu banyak dan ukurannya besar- besar. Lalu saya diajak untuk melihat secara langsung proses penumbukan padi. Ibu- ibu yang sedang asik menumbuk padi di Saung Lisung, sayapun turut mencoba menumbuk padi mengunakan halu (alat penumbuk berbentuk panjang) dan Lisung (alat tempat padi disimpan untuk ditumbuk).
Halu yang digunakan ternyata cukup berat, membuat saya merasa cepat pegal. Melihat ibu- ibu yang terus saja menumbuk tanpa terlihat merasa pegal, membuat saya kagum. Meski usianya sudah cukup rentan namun ternyata sayapun kalah oleh mereka.
Mungkin ini menjadi salah satu faktor karena terbiasanya mereka melakukan kegiatan menumbuk padi mengunakan halu dan lisung.
Setelah ditumbuk padi yang sudah jadi beras ditapi untuk membersikannya dari cangkang- cangkang padi menggunakan nyiru wadah bundar berukuran cukup besar.
Saung Lisung yang berada di atas balong (kolam ikan) memudahkan limbah padi langsung turun ke kolam dan menjadi makanan untuk ikan-ikan di bawahnya. Itu merupakan salah satu bentuk kecil dalam pemanfaatan libah dengan baik oleh Masyarakat adat Kampung Naga.
Hutan Larangan dan Hutan Keramat
Sambil beraktifitas memperkenalkan tempat-tempat, saya terus menjajukan pertanyaan selagi memanfaatkan kesempatan. Namun ternyata ada sebagian pertanyaan saya yang kurang mendapatkan jawaban, terutama hal- hal tentang hutan larangan dan hutan keramat.
Dan ternyata pada hari saya melakukan studi lapangan, merupakan salah satu hari nyepi bagi seluruh masyarakat adat Kampung Naga. Ini menjadi pantangan untuk menceritakan berbagai hal tentang leluhur ataupun aturan- aturan yang dianggap sakral.
Berlanjut memasuki Bale Patemon atau tempat pertemuan, di sini lah saya dipertemukan dengan Sesepuh atau ketua adat Kampung naga. Sesepun menceritakan beberapa hal secara umum, dan tidak begitu panjang lebar menurut saya. Kemudian dilanjutkan dengan sesi pertanyaan.
Saya mendapatkan kesempatan untuk bertanya, meski ternyata hanya sekali. Pertanyaan saya berupa hal tentang Leuweung Keramat, yang awalnya saya tahu nama lainnya adalah Leuweung Biuk. Namun ternyata data yang saya baca kurang relevan, padahal saya mendapatkannya dari buku dan internet.
Biuk itu merupakan nama lain dari sungai Ciwulan, bukan nama dari Leuweung Keramat. Dan hal yang cukup mengecewakan saya tidak mendapatkan jawaban dari pertanyaan saya tentang aturan, norma atau tabu yang ada dalam memasuki dan hal–hal tentang Leuweung Larang ini secara langsung.
Jawaban sesebuh hanya berinti satu kata “pamali” dan itu tidak bisa ditawar apapun sampainya. Setelah pertemuan dengan Sesepuh di Bale Patemon selesai, saya diarahkan kembali observasi lapangan dengan dipandu kembali oleh Pak Tatang dan sebagian oleh Pak Iin. Saya ikut bersama dengan Pak Tatang, berkeliling lebih dalam di Kampung Naga melihat bebagai arsitektur bangunan.
Kerajinan Kampung Naga
Tentu yang paling nampak dari pemukiman adalah bentuk- bentuk rumah yang begitu beraturan, karena setiap rumah harus saling berhadapan berderet. Dan memiliki arsitektur yang samadengan makna-maknanya. Bedanya hanya jumlah pintu ada yang satu dan dua sesuai banyak keluarga.
Selain itu, hal yang paling mencuri perhatian saya adalah aktifitas para Masyarakat adat Kampung Naga, yang kebanyakan menjajakan kerajinan- kerajinan di depan rumahnya. Kerajianan berupa hasil anyaman dan yang lainnya yang dibuat oleh sendiri sebagai aktifitas di dalam rumah.
Saya dan beberapa teman yang lain mendapat kesempatan memasuki rumah salah satu warga, melihat secara langsung bentu dan isi rumah. Ruangan terdiri dari ruang depa, dua buah ruangan kamar, dan dapur. Peralatan yang berada di dalam ruamahpun masih begitu tradisional.
Saya menemukan tungku untuk memasak menggunakan bahan bakar kayu, dan beberapa perabotan yang masih sangat tradisional. Lampu cempor kaca yang menggantung disuatu ruangan, dan dua buah lampu patromak yang tersimpan disuatu galar.
Lebih unik ternyata setrikaan juga masih mengunakan setrika yang mengunakan arang untuk mendapatkan suhu panas. Dan saya baru sadar ternyata di setiap pintu rumah, ataupun bangunan yang lainnya ditempel suatu gantungan yang dipercaya oleh masyarakat sebagai tolak bala.
Sebagai penjaga keselamatan bagi mereka.Ternyata bukan hanya orang-orang Indonesia atau dalam negri yang sering berkunjung ke Kampung Naga ini. Orang–orang dari luar negara juga sering ada yang berkunjung, kami bertemu dua orang turis wanita dari Holland Belanda yang juga sedang mengali berbagai informasi dan kebudayaan- kebudayaan yang dimiliki kampung Naga.
Sumber Air yang Tak Pernah Surut
Saya diajak berjalan menaiki beberapa tangga ke tempat yang lebih tinggi, dan hampir di ujung bagian atas pemukiman. Terdapat sumber air asli atau cai jadi sebutan bagi orang sunda, air yang langsung keluar dari tanah subernya. Begitu jernih dan segar, saat saya mencoba meminumnya begitu terasa rasa mineral air asli. Dan menurut informasi dari Pak Tatang sumber air ini sudah diuji coba oleh laboratorium dan terbukti memiliki kandung mineral yang sempurna.
Sumber ait ini juga tidak pernah surut atau berubah volume baik di musim kemarau ataupun hujan. Menjadi pasokan utama sumber air bersih bagi masyarakat, untuk minum dan memasak.
Saya dan rekan yang sedari tadi bersama turun kembali, karena waktu menunjukan pukul 11 siang dan waktunya untuk makan siang, salat dan istirahat. Saat turun dari sumber air tadi kami melewati sebuah bangunana tanpa jendela, merupakan bangunan yang disebut Bumi Ageung.
Bumi Ageung
Sesuai informasi yang saya dapatkan sebelumnya Bumi Ageung ini merupakan salah satu pusat tempat acara ritual seperti ritual hajat sasih. Namun Pak Tatang tidak menceritakan apapun tentang bangunan yang satu ini, bahkan ia mewanti- wanti kepada kita untuk tidak memfoto atau mengabadikan bangunan yang mengunakan pagar- pagar bambu di sekelilingnya.
Tentu itu membuat penasaran, hingga ada yang bertanya tetapi hanya dijawab satu kata oleh Pak tatang ‘pamali’ ujarnya. Hingga saat melewatinya, ada yang mengenali bangunan itu termasuk saya karena pernah melihat gambarnya di dalam buku tentang Kampung Naga, dan itu adalah Bumi Ageung.
Mungkin ini karena sebab hari nyepi sehingga menjadi pantrangan untuk menyampaikan dan menceritakan bagi Pak Tatang dan warga yang lainya. Kami pun memahami dan tak banyak komentar lagi.
Saya cuci tangan di pancuran dekat masjid lalu masuk untuk mengantri mengambil makanan. Pertama mengambil piring yang ternyata masih menggunakan piring dari bahan seng/almunium, mencirikan itu salah satu perabotan yang masih tradisional. Nasi putih dan berbagai lauk pauk merjajar dalam wadah diatas meja, ada goreng ayam, ikan asin , sambal sayur dan kerupuk.
Air minum teh hangat, dan tak lupa ada beberapa runtuyan pisang yang menjadi cuci mulutnya. Setelah sesi makan selesai, suara pukulan beduk diikuti suara adzan terdengar berkumandang dari masjid. Meski tak menggunakan pengeras suara, adzan cukup terdengar jelas karena Balai Patemon berada tepat di sebelah Masjid.
Saya bergegas untuk melaksanakan salat dan mengabil wudhu sebelumnya. Setelah selesai saya kembali lagi ke Balai Patemo, untuk beistirahan sebentar karean diluar begitu terasa panas, mungkin karena kemarau yang sudah berkepanjangan.
Istirahat sudah terasa cukup, saya memutuskan beraktivitas di luar, meski panas rugi rasanya jika hanya diam disaat penelitian lapangan seperti ini. Mengikuti kembali arahan Pak Tatang, saya dan beberapa rekan diajak untuk melihat cara pembutan langsung kerajinan anyaman yang diproduksi oleh masyarakat.
Sebenarnya dalam penelitian lapangan kali ini lebih banyak data tentang artefak/barang-barang produksi masyarakat yang didapatkan. Selain karena Hari Nyepi ternyata memang banyak benda-benda kerajinan yang diproduksi oleh masyarakat adat Kampung Naga ini.
Akhirnya saya memilih melepaskan diri dan mencari informasi dari tempat lain. Menelusuri bagian Kampung yang belum sempat terlewati, dan saya merasa harus saya injak setiap sudut kampung ini. Selain menghilangkan rasa penasaran, hal itu juga menjadi kepuasan tersendiri bagi saya setiap mendatangi tempat baru.
Saya berjalan kebagian paling atas kampung, hingga saya rasa ini sudah paling ujung, lalu duduk di dekat sawah dan meliahat begitu hebatnya Kampung Naga dari atas sana. Selewat saya memperhatiakan bagian paling belakang kampung, terdapat pagar yang dibangun di sepan sebuah kebun dan ada satu pintu yang juga ditutup.
Sebenarnya saya begitu penasaran dengan tempat itu, tetapi saya tak berani lebuh mendekatinya atau bahkan mengabil foto. Selain karena saya tak bersama pemandu, takutnya itu dilarang dan saya berusaha menghormati adat/aturan yang ada.
Teknologi dan Perkembangan Zaman
Tak sengaja saat berjalan- jalan, saya dan beberapa teman saya bertemu dengan dua anak laki- laki yang sedang bermain bersama. Namun hal yang cukup menarik perhatian saya, mainan yang mereka gunakan adalah gawai/Hp. Karena saya pikir di Kampung seperti ini berbeda dengan daerah perkotaan dalam penggunaan gawai/HP bagi anak- anak.
Sukam berusia sekitar 10 tahun tengah duduk di bangu kelas 5 sekolah dasar, merupakan anak keempat dikeluarganya. Dan Dodi berumur sekitar 8 tahun tengah duduk di bangku kelas 3 sekolah dasar, merupakan anak keempat dari keluarganya. Keduanya bersekolah di SDN 1 Neglasari, berada di atas atau di luar Kampung Naga, karena Kampung Naga tidak memiliki sekolah khusus untuk masyarakatnya.
Paling hanya ada juga pengajian, yang dilakukan di masjid sehari sekitar satu kali. Kami berbincang beberapa hal ringan yang sekiranya membuatnyaman anak- anak seusia mereka. Mulai dari bertanya kesehariannya, sedikit tentang keluarga mereka dan bagaimana perasaan mereka tinggal di Kampung Naga ini.
Dari mereka saya dapat menyimpulkan bahwa masyarakat adat Kampung Naga menerima dengan terbuka teknologi dan perkembangan zaman, meski tidak mengunakan listrik di lingkungan dan tepat tinggalnya. Anak seumuran merekapun ternyata difasilitasi gawai/HP dengan baebagai game dan tontonan didalamnya, dan mereka juga sering menonton televisi terutama radio.
Dalam pengunaan alat-alat elektronik terutama gawai/HP dan senter penerangan, untuk pengisian dayanya mereka lakukan di Bantasari yaiitu sebuah tempat di atas/ luar Kampung Naga yang diadakan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Beberapa rumah juga ternyata memiliki TV, tapi tidak menggunakan listrik melainkan mengunakan aki.
Dari mereka juga saya dapat mengetahui bahawa tingkat pendidikan masyarakat adat Kampung Naga masih kurang. Ternyata kebanyakan anak- anak atau remaja hanya lulusan bangkuSD- SMP, dan cukup jarang adanya yang menyandang pendidikan SMA. Namun tidak saya dapatkan informasi yang begitu detaol, karena kadang- kadang saat ditanya mereka seperti tidak mengerti dan berfikir lama untuk menjawabnya.
Namun dari penglihatan saya sendiripun, selama saya berkeliling di perkampungan ini saya tidak menemukan adanya gadis/remaja terutama seusia saya. Ternyata kebanyakan anak muda pergi merantau untuk berkerja keluar setelah lulus sekolah SMP. Karena rasa penasaran, saya mencoba bertanya tentang kebun berpagar yang saya temui tadi.
Dari penjelasan polos mereka dengan apa yang sering mereka lihat sendiri, saya yakin bahwa itu adalah Hurtan Keramat yang menurut Informasi adalah tempat pemakaman para leluhur. Meski saya coba menyatakan, kepada Sukma dan Dodi bahwa mungkin itu adalah Leweung Keramat tetapi mereka mengatakan bukan.
Membuat saya terkekeh dengan penjelasan mereka tentang tempat itu berkaitan dengan suatu uapacara tradisi dan bahwa yang datang kesana hanya laki- laki, itupun hanya untuk membersihkan tempat. Meski mereka, kukuh itu bukan tempat yang saya sebutkan saya merasa yakin bahwa itu adalah Leweung Keramat dan mungkin mereka belum tahu nama pastinya karena belum cukup mengerti.
Saya cukup merasa beruntung bisa melihat Leweng Keramat secara langsung meski dari tempat yang tak begitu dekat. Tepat pukul 14.30 saya dan semua rekan diinstruksikan untuk kembali berkumpul ke Balai Patemon dan mengakhiri penelitian lapangan.
Suara pukulan beduk dan Adzan terdengar menandakan waktu salat asar, mengiring kami yang hendak salat untuk mengambil wudhu dan melaksanakan salat asar. Penelitian berakhir dan kami semua berajak untuk kembali ke parkiran, yang letaknya d iatas. Dan kami mau-tidak mau harus menaiki sekitar 335 anak tangga yang tadi dituruni. Rasa lelah yang terbayar dari pengalaman dan pengetahuan yang didapat dari kampung naga, menjadi kepuasan dan kebahagian tersendiri.(*)
Penulis : Siti Nurlaela