Dampak PPN 12 Persen, Kenaikan Biaya Hidup yang Menggerus Daya Beli Masyarakat

CIANJURUPDATE.COMPemerintah Indonesia telah memastikan bahwa kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen akan berlaku mulai 1 Januari 2025. Kebijakan ini mengacu pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, kenaikan PPN ini berlaku untuk barang mewah dan produk premium. Meskipun demikian, dampaknya juga akan dirasakan oleh warga kelas menengah ke bawah. Masyarakat dengan penghasilan terbatas akan mengalami kesulitan akibat harga barang dan jasa yang semakin mahal.

Direktur Ekonomi Digital Celios, Nailul Huda, menyatakan bahwa kenaikan tarif PPN akan meningkatkan pengeluaran kelompok menengah, rentan, dan miskin.

“Dampak kenaikan tarif PPN terhadap pertumbuhan konsumsi rumah tangga juga negatif,” ujar Nailul Huda dilansir Kompas.com, Senin (23/12/2024).

Celios memperkirakan bahwa harga barang sehari-hari yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat akan terpengaruh. Barang-barang seperti kuota internet, pakaian, sepatu, alat mandi, hingga mi instan, akan mengalami kenaikan harga yang signifikan.

Dampak lain yang dihadapi oleh masyarakat kelas menengah ke bawah adalah berkurangnya daya beli terhadap barang nonesensial seperti hiburan dan pariwisata. Hal ini diperkirakan akan mempengaruhi kualitas hidup mereka, mengingat mayoritas pengeluaran mereka untuk kebutuhan dasar.

BACA JUGA: PPN Naik Jadi 12 Persen di Awal 2025, Harga Barang dan Jasa Akan Naik

Bagi rumah tangga miskin, PPN 12 persen dapat memengaruhi kemampuan mereka dalam memenuhi kebutuhan pendidikan dan kesehatan. Bahkan, kebijakan ini bisa membuat warga yang sebelumnya rentan menjadi miskin kembali terjerat kemiskinan.

Selain itu, sektor usaha kecil dan pekerja berpenghasilan rendah juga akan terkena dampak. Mereka mungkin menghadapi penurunan pendapatan, pengurangan peluang kerja, hingga pemutusan hubungan kerja (PHK). Nailul Huda menilai kebijakan ini tidak memiliki dasar hukum yang kuat dan bertentangan dengan sistem tarif PPN yang berlaku selama ini.

Pemerintah berencana memberikan insentif ekonomi untuk meringankan beban masyarakat akibat PPN 12 persen. Namun, beberapa ekonom menilai bahwa insentif yang diberikan tidak cukup signifikan untuk mengatasi dampak dari kenaikan tarif pajak tersebut. Bantuan tunai dan subsidi yang diberikan berpotensi hanya memberikan efek sementara tanpa menyentuh akar masalah.

Nailul Huda juga menambahkan bahwa meskipun kenaikan PPN dapat meningkatkan penerimaan negara, hal ini dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, dia menyarankan agar pemerintah menunda atau membatalkan kenaikan tarif PPN demi menjaga daya beli masyarakat.

Sebagai alternatif, pemerintah bisa mempertimbangkan penerapan pajak lain seperti Pajak Produksi Batubara, pajak digital, atau pajak kekayaan untuk menambah pemasukan negara tanpa memberatkan rakyat.

Exit mobile version