
Ia menambahkan, belum tentu juga semua jemaah yang akan Shalat Jumat tersebut mau diatur ganjil-genap berdasarkan nomor HP.
“Sejak awal, MUI juga tidak setuju Shalat Jumat di tengah pandemi Covid-19 ini dibagi dua gelombang,” sambungnya.
Sebab itu, lanjut Anwar, MUI meminta pengurus masjid atau masyarakat untuk membuat atau menambah tempat untuk pelaksanaan Shalat Jumat.
“Misalnya, Shalat Jumat di Masjid Agung Al-Azhar Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Kalau memang masjidnya hanya diizinkan untuk menampung 25 persen jamaah, maka jemaah lain bisa menempati aula masjid atau halaman sekolah,” jelasnya.
Anwar menyampaikan, masyarakat bisa memanfaatkan tempat-tempat untuk dijadikan lokasi Shalat Jumat yang ada di dekat masjid, seperti sekolahan atau tempat lainnya.
“Paling penting pelaksanaan Shalat Jumat tersebut sesuai protokol kesehatan, ada jarak di antara shaf (barisan jemaah),” ungkapnya.
Terkait usulan DMI yang diketuai Jusuf Kalla, Anwar meminta supaya Shalat Jumat dibagi dua gelombang berdasarkan ganjil-genap sesuai nomor handphone tak usah untuk mengikuti seruan tersebut.
“Pak Jusuf Kalla itu kan politisi. Tidak ahli agama. Karena ada perintah dalam Al-Quran, kita diminta bersegera untuk melaksanakan Shalat Jumat ketika ada panggilan (adzan),” pungkasnya.(ct7/sis)
Sumber: Poskotajakarta