Dua Prinsip Kebebasan Pendapat dalam Islam
Oleh Siti Susanti, S.Pd (Pengelola Majlis Zikir As-sakinah)
![](/wp-content/uploads/2021/11/SAVE_20211101_130806-590x470.jpg)
Dalam kapitalisme, keberadaan media berjalan sesuai kehendak siapa pemilik modalnya. Maka tidak aneh, keberadaan media mainstream seolah menjadi perpanjangan mulut para pemilik modal.
Dalam ranah politik, ia juga kerap menjadi corong bagi mereka yang sedang berkuasa, bahkan sebagai alat kampanye saat pemilu/pilkada.
Akibatnya, kepercayaan masyarakat terhadap media mainstream menjadi lemah, dan penggantinya bermunculan media sosial dengan jurnalisme masyarakat, tanpa ada jaminan ‘selamat’ dari hoaks.
Adapun keberadaan UU, dianggap sebagai alat untuk membungkam pendapat yang dianggap bersebrangan dengan pemangku kepentingan.
Di sisi lain, kebebasan manakala tidak dibingkai batasan, seringkali menjadi buah simalakama bagi kebebasan itu sendiri. Ia menjadi destruktif terhadap nilai-nilai mulia dan menumbuh suburkan hedonisme dalam kehidupan masyarakat.
Padahal, hedonisme itu tentu bertentangan dengan aqidah ummat Islam, mayoritas penduduk negeri ini.
Media, selayaknya menjadi alat pembawa kebaikan di dunia menuju kebaikan akhirat. Oleh karena itu, aqidah Islam seharusnya menjadi landasan berbagai aspek termasuk dalam membangun media.
Dalam Islam, peran media massa (wasa’il i’lam) adalah sebagai pelayan idiologi baik dalam dan luar negeri (Sya’rani, 1992). Di dalam negeri, ia menjadi sarana membangun masyarakat yang kokoh. Sementara ke luar negeri, ia menjadi sarana menyebarkan Islam (da’wah).
Dalam rangka itu, seluruh konten media akan senantiasa berdasar arahan dan kontrol negara, karena tidak boleh bertentangan dengan tuntunan Islam.