Media massa memiliki peran strategis dalam kehidupan. Tidak ayal, Thomas Jefferson saat masih duduk di Dewan Kongres Amerika Serikat (AS) tahun 1787 mengeluarkan sebuah pernyataan yang terkenal dan banyak dikutip media hingga kini. Bunyinya; ‘Basis pemerintah kita terletak pada opini masyarakat, kewajiban yang paling utama adalah tetap mempertahankan hak rakyat ini, dan andaikata saya disuruh memilih pemerintah tanpa surat kabar atau surat kabar tanpa pemerintah, saya akan memilih yang terakhir’.
Seiring berjalannya waktu, dimana internet menjadi basis media saat ini, perkembangan informasi menjadi begitu cepat. Semua orang maupun lembaga, siapapun ia bisa menyampaikan informasi dan menerimanya dalam hitungan detik saja.
Dalam alam demokrasi saat ini, kebebasan dianggap sebagai hal yang diagungkan. Terkait ini, gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil mengklaim indeks kebebasan Pers di Jawa Barat melompat jauh atau naik 27 peringkat dalam Survei Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) tahun 2021. Pada IKP 2021 Jawa Barat menempati posisi kedua dari 34 provinsi yang disurvei.
Survei IKP dilakukan Sucofindo dan Dewan Pers. Pada IKP 2021 Jabar memperoleh nilai indeks 82,66. Ada tiga indeks penilaian lingkungan dalam survei IKP 2021 itu, yakni lingkungan politik, lingkungan ekonomi dan lingkungan hukum. (viva.co.id, 22/10/2021)
Di sisi lain, kebebasan pers dianggap tidak sesuai dengan kenyataan oleh sebagian pihak. Sebagai sebuah alat layaknya pisau, ia bisa tumpul dan tajam sesuai dengan kehendak pemiliknya.
Dalam kapitalisme, keberadaan media berjalan sesuai kehendak siapa pemilik modalnya. Maka tidak aneh, keberadaan media mainstream seolah menjadi perpanjangan mulut para pemilik modal.
Dalam ranah politik, ia juga kerap menjadi corong bagi mereka yang sedang berkuasa, bahkan sebagai alat kampanye saat pemilu/pilkada.
Akibatnya, kepercayaan masyarakat terhadap media mainstream menjadi lemah, dan penggantinya bermunculan media sosial dengan jurnalisme masyarakat, tanpa ada jaminan ‘selamat’ dari hoaks.
Adapun keberadaan UU, dianggap sebagai alat untuk membungkam pendapat yang dianggap bersebrangan dengan pemangku kepentingan.
Di sisi lain, kebebasan manakala tidak dibingkai batasan, seringkali menjadi buah simalakama bagi kebebasan itu sendiri. Ia menjadi destruktif terhadap nilai-nilai mulia dan menumbuh suburkan hedonisme dalam kehidupan masyarakat.
Padahal, hedonisme itu tentu bertentangan dengan aqidah ummat Islam, mayoritas penduduk negeri ini.
Media, selayaknya menjadi alat pembawa kebaikan di dunia menuju kebaikan akhirat. Oleh karena itu, aqidah Islam seharusnya menjadi landasan berbagai aspek termasuk dalam membangun media.
Dalam Islam, peran media massa (wasa’il i’lam) adalah sebagai pelayan idiologi baik dalam dan luar negeri (Sya’rani, 1992). Di dalam negeri, ia menjadi sarana membangun masyarakat yang kokoh. Sementara ke luar negeri, ia menjadi sarana menyebarkan Islam (da’wah).
Dalam rangka itu, seluruh konten media akan senantiasa berdasar arahan dan kontrol negara, karena tidak boleh bertentangan dengan tuntunan Islam.
Sehingga, konten yang sesat, menyesatkan, rusak, dan merusak akan dilarang.
Adapun jika masih dalam koridor syariat Islam, seluruh masyarakat akan diberikan kebebasan dalam mengekspresikan pendapatnya.
Dalam banyak kasus, saat syariat Islam diterapkan, nasihat/kritik seringkali diberikan kepada penguasa sekalipun. Sehingga, keterikatan kepada syariat Islam bukan berarti membungkam aspirasi dalam menyampaikan kebenaran.
Kondisi ini terwujud, karena dibangun oleh dua aspek;
Pertama, Islam menggariskan bahwa konsekuensi iman setiap muslim adalah terikat dengan syariat Islam. Ini berlaku bagi rakyat maupun pejabat, dalam seluruh aspek kehidupan mereka. Sehingga, secara imani, dalam berkarya melalui media massa pun harus memperhatikan syariat Islam; tidak menyebarkan hoaks, pornografi, plagiat, dsb.
Kedua, kewajiban bagi setiap muslim untuk saling memberi nasihat dan melakukan amar ma’ruf nahi mungkar(dakwah), sebagaimana hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Tamim bin Aus ad-Daryra, Rasulullah SAW bersabda: “Agama adalah nasihat.” Kami (para sahabat) bertanya, ”Untuk siapa?” Beliau menjawab, ”Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin kaum Muslimin, dan manusia pada umumnya.” (HR Muslim).