Dunia Seni Indonesia Berduka, Djaduk Ferianto Meninggal Dunia
Dengan awalnya ia banyak belajar secara otodidak, dengan kesungguhan dan tekadnya sendiri. Selain itu, ia secara khusus pergi ke Jepang untuk mempelajari teknik olah pernapasan dalam memainkan alat musik tiup.
Ilmunya di bidang musik pun semakin bertambah saat ia belajar musik di New York. Sepanjang perjalanan karirnya, ayah lima anak ini sempat mengalami diskriminasi, salah satunya adalah pembedaan antara lokal dan nasional.
Djaduk baru bisa masuk industri musik nasional di tahun 1996. Meskipun frekuensi tampil di ibukota sangat tinggi, Djaduk memilih untuk tetap tinggal di Yogyakarta.
Mengabdi Pada Negeri dan Seni
Karya-karyanya pada era orde baru dan reformasi cenderung mengandung kritik sosial dan politik, di antaranya “Ngeng-Ngeng” (1993) dan “Kompi Susu” (1998). Ia juga kerap bereksperimen dengan berbagai gaya dan genre kesenian.
Djaduk menikmati dan melewati keseharian hidupnya dengan terus mengeluti seni. Ia diketahui aktif sebagai pemimpin kelompok musik humor Orkes Sinten Remen. Di sini, ia ‘menggarap’ musik keroncong, membuatnya terdengar lebih progresif melalui irama, ketukan, juga lirik.
Musikalitas Djaduk tak bisa dianggap remeh. Sejak tahun 1997, ia telah melahirkan karya-karya unik melalui kedua kelompok musiknya tersebut.
Di antaranya adalah Orkes Sumpeg Nang Ning Nong (1997) dan Ritus Swara(2000) bersama Kua Etnika, serta Parodi Iklan (2000), Komedi Putar (2002), Janji Palsu (2003), dan Maling Budiman(2006) bersama Orkes Sinten Remen.