Hari Pahlawan, Mengenal Raden Prawatasari Pahlawan di Cianjur

CIANJURUPDATE.COM, Hari Pahlawan– Kyai Raden Haji Alit Prawatasari atau Haji Prawatasari  lahir di Jampang atau mungkin saat ini Cianjur Selatan lahir dari latar belakang keluarga santri.

Juga merupakan keturunan Sancang Kuning dari Singacala (Panjalu). ‎ Ia sendiri seorang ulama, yang dikalangan murid-muridnya dikenal sebagai Raden Alit.

Rasa keadilannya terusik ketika ia melihat tindakan sewenang-wenang Kompeni terhadap rakyat Cianjur dalam praktek Tanam Paksa Kopi (Priangan Stelsel). Ia pun bangkit dan berjuang melawan panjajah.

Kisah kepahlawan tokoh Cianjur masa pemerintahan dalem-dalem sepertinya kurang populer. Ketokohan para dalem umumnya hanya mengisahkan perpindahan dari satu tempat ketempat lain, atau tentang penamaan nama kampung saja.

Dalem Cikundul R Arya Wiratanudatar

Malah Dalem Cikundul R Arya Wiratanudatar Bupati Cianjur pertama, dalam perjalanan sejarahnya seolah selesai dikisah pernikahannya dengan putri jin hingga melahirkan tiga anak. Suryakancana, Indang Sukaesih dan Andaka Wiru Sajagat.

Dalem Cikundul adalah seorang penyebar Islam, dan masih banyak kisah lainnya yang layak ditampilkan hingga bisa menjadi suri tauladan bagi generasi muda, namun lagi-lagi para pejabat Cianjur dan umumnya warga seolah merasa cukup hanya mengenal Dalem Cikundul saat menikahi putri jin saja, ironis memang.

‎Demikian juga dengan Haji Prawatasari yang kini namanya diabadikan menjadi nama lapang olahraga di kawasan Jalan Siliwangi Joglo.

Kendati hampir setiap hari Minggu lapang ini dipadati warga, dan dijadikan tempat upacara resmi aparat Pemkab Cianjur, sepertinya mereka tidak merasa perlu untuk mencari informasi bagaimana taktik gerilya Haji Prawatasari yang pernah membuat kewalahan penjajah Belanda. 

Hari Pahlawan: Jati Diri Haji Prawatasari

Jadi diri Haji Prawatasari hingga saat ini masih belum jelas, apakah ia keturunan Dalem Cikundul Cianjur, keturunan Raja Panjalu, atau Keturunan Raja Jampang Manggung.

Maka sepertinya wajar tokoh yang sejaman dengan Bupati Cianjur Aria Wiratanu II ini juga bergelar Aria Salingsingan yang artinya tokoh yang identitasnya simpangsiur. 

Sebagian besar sejarawan Sunda sendiri meyakini ia lahir dan dibesarkan di tanah Jampang.

Kalaupun tidak dilahirkan di Jampang, setidaknya ia dibesarkan dan tumbuh menjadi seorang ulama di daerah yang terkenal sebagai pusat pelatihan militer (akademi militer) para jagabaya (prajurit Kerajaan Pajajaran) tersebut.

Ketika kecil Prawatasari dikenal dengan julukan Raden Alit.

Bisa jadi istilah alit (dalam bahasa Sunda berarti kecil) mengacu kepada 2 arti: ia merupakan anak paling kecil (bungsu) dalam struktur keluarganya atau karena sifatnya yang selalu bergaul dengan para “kawula alit” (rakyat kecil).

Sebuah kondisi yang memberinya pengaruh besar untuk menjadi seorang pemberontak terhadap segala bentuk kezaliman.

Hari Pahlawan: Pemberontakan Berlangsung Tahun 1703

Suriningrat dikisahkan bahwa pemberontakan Haji Prawatasari kepada Belanda berlangsung antara 1703-1706.

Tokoh dengan nama kecil Raden Alit / Dalem Alit ini mulai menyerang pos Belanda pada bulan Maret 1703, ia terpanggil untuk mengusir Belanda karena saat itu rakyat Cianjur terkena beban tanam paksa pohon Tarum yang menjadi kebijakan Belanda yang menjajah Kabupaten Cianjur.

Haji Prawatasari memusatkan perlawanannya didaerah Jampang (Kemungkinan bukan Jampang Cianjur Selatan, akan tetapi gunung Jampang Manggung di Cikalong Kulon) ia didukung dengan 3000 santri.

Pos-pos Belanda yang diserang semula hanya sekitar Cianjur dan Bogor, namun kemudian Prawatasari menyerang Jakarta, Sumedang dll.

Pemberontakan Raden Prawatasari Dimulai Maret 1703

Pemberontakan Raden Haji Alit Prawatasari dimulai pada bulan Maret 1703 dan terjadi sangat dahsyat.

Raden Alit Prawatasari sanggup memobilisasi rakyat menjadi pasukannya sebanyak 3000 orang, sehingga membuat VOC kalang kabut.

Berita bahwa Alit Prawatasari telah tewas. Pieter Scorpoi komandan pasukan VOC segera saja menawan dan menggiring seluruh warga Jampang yang mencapai 1354 orang untuk menjalani hukuman di Batavia melewati Cianjur.

Tujuannya tidak lain adalah untuk menghancurkan semangat dan kekuatan pengikut RH Alit Prawatasari.

Penduduk Jampang yang berbaris sepanjang jalan itu sebagian besar tewas diperjalanan, yang tersisa hanyalah 582 orang dengan kondisi yang menyedihkan, mereka kemudian digiring terus menuju ke Bayabang.

Pada waktu itu sesungguhnya RH Alit Prawatasari tidak tewas melainkan sedang mengumpulkan wadya balad (pengikut) yang sangat besar, ia kemudian memimpin penyerbuan ke kabupaten priangan wetan (timur).

Pada 1705 Alit Prawatasari muncul lagi di Jampang dan kemudian mengepung sekeliling Batavia, pada sekitar Januari di dekat Bogor.

Karena VOC tak mampu menangkap Alit Prawatasari, tiga orang tokoh masyarakat yang ditangkap di Kampung Baru, Bogor dieksekusi mati oleh VOC.

Pada Maret Alit Prawatasari membuat kekacauan di Sumedang utara, kemudian pada Agustus 1705 dia berhasil mengalahkan pasukan Belanda yang mencoba mengejar dan menangkapnya melalui tiga kali pertempuran.

Akibat gagal menangkap Raden Alit Prawatasari, maka VOC menjatuhkan hukuman berat kepada siapa saja yang disangka membantunya, namun jumlah pengikutnya bukan berkurang malah semakin bertambah banyak karena rakyat bersimpati kepada perjuangannya.

Belanda kemudian mengeluarkan ultimatum serta tenggat waktu selama enam bulan kepada para bupati di Tatar Sunda agar menangkapnya.

Pada 1706 RH Alit Prawatasari meninggalkan Tatar Sunda menuju ke Jawa Tengah. 

‎Raden Alit Prawatasari akhirnya tertangkap di Kartasura setelah ditipu oleh Belanda pada 12 Juli 1707.

Raden Alit Prawatasari memang pantas mendapatkan gelar pahlawan nasional karena beliau memenuhi kriteria sebagai pahlawan nasional, yang telah bertindak kepahlawanan dan memiliki nilai kepahlawanan.(bbs)

Exit mobile version