Heliana Sinaga Apresiasi Novel “Cinta, Kopi, dan Kekuasaan: Kesaksian Nyai Apun Gencay” Karya Saep Lukman

BACA JUGA: Lokatmala Foundation Gelar Program Seni Budaya Bertajuk CIANJUR 1834
Novel Cinta, Kopi, dan Kekuasaan, kata Heliana, mengangkat sejarah perempuan dalam konteks sosial dan politik yang berkelindan dengan budaya kopi. “Novel ini juga memiliki narasi yang kuat dengan atmosfer yang menawarkan pengalaman membaca yang imersif, menghadirkan sejarah yang bisa dirasakan dan dibayangkan seolah nyata,” sebut Heliana.
Pada acara yang diinisiasi Yayasan Kebudayaan Lokatmala Indonesia dan dipandu oleh sastrawan dan penulis muda, Faisal Syahreza itu turut hadir jurnalis dan aktivis lingkungan Tosca Santoso, yang dalam pengantarnya menjelaskan bagaimana novel ini menyajikan sudut pandang berbeda tentang sejarah Cianjur.
Menafsir Ulang Sejarah Kopi Cianjur
Selanjutnya dalam diskusi yang dihadiri Kepala Cabang Dinas (KCD) Wilayah VI Provinsi Jawa Barat, Dr. Nonong Winarni, Wakil Ketua DPRD Kab. Cianjur, Susilawati, SH., MKP dan Sekretaris Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Cianjur , Dra. Hj. Nenden Nurjanah, M.A.P serta sejumlah tokoh penting lainnya, Tosca Santoso menyoroti bahwa sejarah kopi di Cianjur selalu diceritakan dengan nada bangga. Padahal dibalik itu ada kisah pahit yang jarang dikemukakan.
“Sejarah kopi selalu merujuk pada kejayaan wilayah Cianjur sebagai salah satu pusat produksi kopi dunia pada abad ke-18. Namun, di balik nostalgia tersebut, ada kisah pahit yang jarang dikemukakan, seperti penderitaan petani Priangan akibat sistem tanam paksa yang diberlakukan Belanda dengan dukungan para penguasa lokal saat itu.