Heliana Sinaga Apresiasi Novel “Cinta, Kopi, dan Kekuasaan: Kesaksian Nyai Apun Gencay” Karya Saep Lukman

“Petani Priangan yang biasanya berhuma dengan rotasi, dipaksa menetap dan wajib tanam kopi, menelantarkan tanaman kebutuhan mereka sendiri,” ujar Tosca.
“Satu keluarga dijatah tugas 1.000 batang kopi. Hasilnya harus dijual ke Belanda, lewat para bupati, dengan harga yang ditentukan VOC sendiri. Petani yang menolak, menghadapi risiko penjara dan aniaya,” sambungnya.
Kisah Melankolis
Novel ini membawa pembaca ke desa Nyalindung yang terselubung kabut pegunungan, menghadirkan perjalanan hidup Apun Gencay dalam pergulatan cinta, tradisi, dan ketidakadilan sosial. Dengan narasi yang introspektif, Saep Lukman menyulam kisah Apun dengan kelembutan puitis, menjadikan setiap paragraf terasa seperti doa yang mengalun.
Di tengah lanskap kebun kopi yang subur namun menyimpan ketimpangan kekuasaan, Apun menyaksikan bagaimana rakyat kecil seperti ibunya, Ambu, dan para buruh tani harus berjuang melawan kesewenang-wenangan kolonialisme saat itu.
Tokoh Yudira kemudian hadir sebagai elemen perubahan, mewakili generasi muda yang berani melawan ketidakadilan. Namun, perjuangannya tidaklah hitam-putih. Ia dan para tokoh lain digambarkan sebagai manusia dengan kekuatan dan kelemahan, menyadarkan pembaca bahwa perlawanan sejati memerlukan kebijaksanaan, bukan sekadar amarah.