Ini Penyebab Maraknya Prostitusi di Kabupaten Cianjur, Benarkah Ada ‘Backing’ Untuk Mucikari?

CIANJURUPDATE.COM – Praktik prostitusi di Kabupaten Cianjur masih menjadi fenomena sosial yang sulit diberantas.
Jurnal Hukum Mimbar Justitia (JHMJ) Vol. 10, No.1, Juni 2024, dalam penelitian berjudul Penanggulangan Prostitusi dalam Konsep Budaya Hukum Perspektif Peraturan Daerah Kabupaten Cianjur karya Mia Amalia dari Universitas Suryakancana, mengungkap berbagai faktor penyebab maraknya prostitusi di wilayah ini.
Faktor Internal dan Eksternal
Menurut penelitian tersebut, ada dua faktor utama yang menyebabkan tingginya angka prostitusi di Cianjur, yaitu faktor internal dan eksternal.
Faktor internal mencakup rendahnya standar moral dan keimanan, kurangnya keterampilan serta pendidikan, serta gaya hidup konsumtif.
Sementara itu, faktor eksternal lebih kompleks, melibatkan aspek ekonomi, sosial, dan hukum.
“Kesulitan ekonomi menjadi pendorong utama, ditambah dengan adanya kerja sama antara masyarakat dan aparat setempat. Prostitusi bahkan telah menjadi budaya dan ladang mata pencaharian bagi sebagian warga,” tulis Amalia dilansir, Rabu (19/2/2025).
Lebih lanjut, penelitian ini menyoroti bagaimana industri pariwisata di kawasan Puncak Cipanas turut memperbesar ruang bagi praktik prostitusi.
Vila-vila dan penginapan yang disewakan kerap disalahgunakan sebagai tempat prostitusi terselubung.
“Pesatnya pembangunan industri pariwisata dengan maraknya wisata seks halal di wilayah Cianjur menjadi faktor pendorong lain,” ungkap penelitian tersebut.
BACA JUGA:Â Oh Ini Sosok Artis CA yang Ditangkap Polisi Gara-gara Prostitusi Online
Keterlibatan Aparat dan Organisasi Prostitusi
Dalam jurnalnya, Amalia juga menyinggung keterlibatan aparat dalam praktik prostitusi di Cianjur.
“Ada fenomena backing atau kerja sama dalam pelaksanaan prostitusi, sehingga praktik ini menjadi suatu jaringan yang terorganisir,” tulisnya.
Tak hanya itu, prostitusi di Cianjur juga melibatkan banyak pihak, mulai dari muncikari, penyewa vila, hingga pengemudi ojek yang turut mengarahkan pelanggan ke lokasi prostitusi.
Upaya Penanggulangan yang Belum Efektif
Upaya pemberantasan prostitusi di Cianjur sebenarnya telah diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 21 Tahun 2000 tentang Larangan Pelacuran.
Dalam perda ini, pelaku prostitusi dapat dikenakan hukuman kurungan maksimal tiga bulan atau denda hingga Rp5 juta.
Namun, implementasi hukum ini masih lemah.
“Lemahnya sanksi dan penerapan hukum dalam penanganan prostitusi menjadi tantangan utama,” ungkap jurnal tersebut.
Selain itu, kurangnya pengawasan keluarga serta rendahnya kepedulian sosial juga menjadi penyebab sulitnya memberantas praktik prostitusi.
BACA JUGA:Â Viral! Suami Selebgram Ayu Sinjai Selingkuh, Digrebek di Kamar Kost Ketahuan Sering Bayar Selingkuhannya
Solusi Berbasis Budaya Hukum
Penelitian ini menekankan pentingnya pendekatan budaya hukum dalam menangani prostitusi di Cianjur.
Konsep ini menekankan bahwa pemberantasan prostitusi tidak bisa hanya mengandalkan penegakan hukum semata, tetapi juga perlu melibatkan pendekatan sosial, ekonomi, dan pendidikan.
“Perlu ada gerakan masyarakat berakhlakul karimah (Gerbang Marhamah) yang menjauhkan masyarakat dari segala perbuatan maksiat,” tulis Amalia.
Selain itu, strategi pemberantasan prostitusi juga harus melibatkan pelatihan keterampilan bagi para pekerja seks komersial (PSK), penyuluhan moral, serta penguatan ekonomi agar mereka memiliki alternatif mata pencaharian lain.
Penelitian ini mengungkap bahwa prostitusi di Cianjur bukan hanya persoalan individu, tetapi juga mencerminkan kegagalan sistem sosial dan ekonomi di wilayah tersebut.
Tanpa upaya menyeluruh yang melibatkan regulasi tegas, dukungan sosial, serta penegakan hukum yang transparan, praktik prostitusi di Cianjur diprediksi akan terus bertahan.