Kata Fahira Idris Tentang Penghapusan Pelajaran Agama di Sekolah

Praktisi Pendidikan Setyono Djuandi Darmono mengatakan, pendidikan agama tidak perlu diajarkan di sekolah, cukup diajarkan orangtua masing-masing atau lewat guru di luar sekolah/ di rumah.

Padahal Pendidikan agama di sekolah yang merupakan amanat UU Sisdiknas dan sudah diterapkan bahkan sejak bangsa ini belum merdeka dan mampu membentuk karakter dan budi pekerti siswa.

Idealnya Jam Pelajaran Ditambah

Malah kedepan, idealnya jam pelajarannya di tambah dengan berbagai kegitan ekstra kurikuler.

Pendapat yang menyatakan pendidikan agama di sekolah memecah belah siswa, bahkan dikaitkan dengan radikalisme bukan hanya mengada-ada, paranoid, tetapi juga tuna sejarah dan tuna pengatahuan esensinya.

Ajarkan Toleransi

Pendidikan agama juga mengajarkan toleransi dan Budi pekerti. Bahkan dalam Islam perbedaan itu adalah sunatullah sehingga mutlak menjadi pandangan hidup.

Mungkin sekali-kali mereka yang punya ide menghapus di sekolah perlu ikut belajar kembali di dalam kelas.

Tapi hari ini ada pernyataan dari sdr. Ardiansyah Ja’far yang mencoba meluruskan pernyataan SD Darmono yang kontroversial tersebut.. Pernyataannya bisa dilihat di halaman ini : https://t.co/Wz8s6krluX

Pada poin pertama, sdr Ardiansyah menyampaikan bahwa identitas agama mendorong munculnya konflik dalam politik. Pernyataan ini malah sama sekali tidak menyinggung pendidikan agama seperti yang disampaikan SD Darmono. Identitas agama merupakan sesuatu yang sangat umum. Semua orang mempunya identitas agama yang didasarkan pada lingkungannya masing-masing, bukan dari pendidikan agama di sekolah.

Bahkan jika dilihat lebih seksama, peran kelompok dengan identitas agama dalam kontestasi politik baru-baru ini sangat besar perannya.

Lanjut pada poin kedua, disebutkan paham ekstrimis masuk ke sekolah dan universitas. Saya melihat pernyataan ini hanya mencari kambing hitam saja. Tidak berani menunjuk langsung siapa dan seperti apa paham ekstrimis yang dimaksudkan.

Menekankan Character Building

Masih pada poin kedua, Ardiyansyah yang meluruskan pernyataan Darmono menyebutkan pendidikan agama harus menekankan character building. Hemat saya sederhana saja, masa’ sih apa yang diajarkan dalam agama perlu diarahkan oleh manusia?

Peran umat kaum agama dalam pembangunan bangsa sangat besar. Kemerdekaan yang kita hirup saat ini salah satunya peran besar umat beragama, para santri dan ulama yang rela mati berkalang tanah agar kita merdeka. Lantas setelah merdeka, kita malah mendiskreditkannya?

Fakta yang ada justru sebaliknya, lemahnya pendidikan agama menyebabkan moralitas anak bangsa terus tergerus. Jika moralitas sudah lemah, mana bisa generasi penerus bangsa melakukan pembangunan untuk kemajuan bangsa?

Saya melihat fenomena anak-anak rusak oleh narkoba, minuman keras, pemikiran liberal, seks bebas, gaya hidup hedonisme, korupsi dari lapisan atas, hingga masyarakat bawah, dan masalah lainnya, ini semua karena kurangnya pemahaman agama pada masing-masing kita.

Baca Juga: Kata Mereka tentang PPDB Sistem Zonasi

Coba lihat fenomena saat ini, orang tua siswa berlomba-lomba memasukkan anak-anak mereka ke sekolah-sekolah agama seperti pondok pesantren, sekolah Islam Terpadu, dan lainnya. Kok bisa? Jawabannya sederhana, pendidikan agama bisa membuat anak matang baik secara emosional, spiritual, hingga intelektualnya.

Pada poin keempat, sdr. Ardiansyah membuat sebuah pertanyaan, apa yang salah dengan pendidikan agama kita di sekolah? Untuk poin terakhir ini Saya hanya menjawab bahwa yang salah adalah, porsinya di sekolah masih kurang baik secara waktu maupun materinya. Pendidikan agama di sekolah harus ditambah. Anak-anak kita harus benar-benar paham agamanya masing-masing.

Dalam Islam misalnya, mulai dari akhlak, tauhid, hingga syariat, anak-anak kita harus paham luar dalam sehingga ketika lulus dari dunia sekolah, mereka menjadi insan-insan yang sangat kompeten untuk melakukan pembangunan bangsa yang berkarakter berkemajuan.(*)

Exit mobile version