CIANJURUPDATE.COM – Bupati Cianjur, Herman Suherman, menyatakan keprihatinannya atas masih maraknya praktik kawin kontrak di Cianjur meskipun telah dikeluarkan Peraturan Bupati (Perbup) yang melarangnya.
Walaupun telah dilakukan sosialisasi secara intensif, praktik ini masih terus berlangsung tanpa adanya sanksi yang tegas.
“Saya mengapresiasi upaya pihak kepolisian dalam mengungkap kasus ini. Namun, kita masih prihatin karena praktik kawin kontrak masih terjadi meskipun telah dilakukan sosialisasi,” ujar Herman, Selasa (16/4/2024).
BACA JUGA: Libur Sekolah, Gadis Pelajar di Cianjur Jadi Korban Mucikari Kawin Kontrak
Meskipun Pemkab Cianjur telah mengeluarkan Perbup yang melarang kawin kontrak pada tahun 2021, namun hal tersebut masih terbukti tidak cukup efektif dalam mencegah praktik tersebut.
Herman menjelaskan bahwa langkah antisipasi yang diambil oleh Pemkab Cianjur hingga saat ini masih terbatas pada sosialisasi berdasarkan Perbup tersebut.
Namun demikian, tanpa adanya sanksi yang diatur dalam Peraturan Daerah (Perda), upaya pencegahan masih belum optimal.
BACA JUGA: Dua Pelaku Perdagangan Orang dengan Modus Kawin Kontrak di Cianjur Diciduk Polisi
“Pemkab Cianjur berharap adanya Perda yang mengatur kawin kontrak untuk memberikan landasan hukum yang lebih kuat dalam menanggulangi praktik ini. Namun, hal ini belum bisa direalisasikan karena belum ada regulasi serupa di tingkat pusat,” tambahnya.
Herman juga menegaskan pentingnya peran masyarakat dalam mencegah praktik kawin kontrak, mengingat dampak negatifnya terutama bagi perempuan yang rentan menjadi korban tanpa perlindungan hukum yang memadai.
Sementara itu, Kasatreskrim Polres Cianjur, AKP Tono Listianto, mengungkap bahwa dua orang diduga mucikari kawin kontrak telah berhasil diungkap, setelah menjalankan modus operandi tersebut sejak tahun 2019.
BACA JUGA: Keluarga Korban Penyiraman Air Keras di Cianjur Bantah Isu Kawin Kontrak Sarah dan Abdul
Mereka mengincar gadis pelajar di Cianjur dengan usia belasan tahun dan dipaksa untuk melakukan kawin kontrak dengan pria dari berbagai negara.
Dalam praktik ini, pelanggan harus membayar mahar mulai dari Rp 30 juta hingga Rp 100 juta, yang kemudian dibagi dua antara korban dan pelaku.
Para pelaku dijerat dengan Pasal 2, Pasal 10, dan Pasal 12 Undang-undang RI Nomor 21 tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang, dengan ancaman hukuman kurungan penjara maksimal 15 tahun.