CIANJURUPDATE.COM – Menjelang akhir masa jabatannya pada 20 Oktober mendatang, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan kekhawatirannya terkait tren ekonomi yang berkembang di Indonesia, khususnya terkait gig economy dan pekerja kontrak.
Pada Kamis (19/9/2024), Jokowi memperingatkan potensi masalah besar jika tren ini tidak dikelola dengan baik.
Menurutnya, gig economy yang mengandalkan pekerjaan serabutan dan kontrak jangka pendek berpotensi menjadi tantangan serius di masa depan.
“Gig economy, hati-hati. Ekonomi serabutan, ekonomi paruh waktu. Kalau tidak dikelola dengan baik, ini akan jadi tren yang merugikan,” tegas Jokowi dilansir CNBC Indonesia.
BACA JUGA: Gugat Jokowi dengan Tuduhan Kebohongan, Rizieq Shihab Tantang Istana
Tren Gig Economy di Indonesia
Gig economy, yang mencakup pekerjaan sementara seperti driver ojek online dan freelancer, terus berkembang pesat di Indonesia.
Perusahaan yang menawarkan layanan seperti ini menyebut para pekerjanya sebagai mitra, bukan karyawan.
Dengan status ini, mereka memiliki fleksibilitas dalam jam kerja dan penghasilan, tetapi di sisi lain, tidak mendapat hak-hak yang biasanya diperoleh oleh karyawan tetap, seperti Tunjangan Hari Raya dan asuransi kesehatan.
Jokowi khawatir tren ini membuat perusahaan cenderung memilih pekerja kontrak atau freelancer untuk mengurangi risiko ketidakpastian global.
Akibatnya, kesejahteraan jangka panjang pekerja menjadi terabaikan, dan mereka lebih rentan terhadap ketidakpastian ekonomi.
Kondisi Finansial Pekerja Gig Economy
Sebuah studi dari Bank Dunia menggambarkan situasi finansial para pekerja di gig economy di Indonesia.
Studi tersebut menunjukkan mayoritas pekerja online seperti driver ojek online mengalami kesulitan finansial.
Mereka tidak hanya kesulitan membayar utang, tetapi juga tidak memiliki tabungan untuk kebutuhan darurat.
Penelitian tersebut memperkirakan sekitar 6-7 persen dari total pekerja informal di Indonesia adalah pekerja lepas online.
Mayoritas dari mereka bekerja di kota-kota besar dengan jenis pekerjaan seperti pengiriman barang (44%) dan transportasi orang seperti ojek online (35%).
Meskipun para pekerja gig economy ini lebih melek finansial dibandingkan pekerja informal lainnya, dengan 68 persen dari mereka memiliki rekening bank, tetap saja hanya 34 persen yang memiliki dana darurat.
Lebih dari 60 persen di antara mereka bahkan kesulitan membayar utang mereka.
Tantangan Perlindungan Sosial
Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi para pekerja gig economy adalah kurangnya perlindungan sosial.
Hanya 17 persen pekerja gig yang terlindungi oleh BPJS Ketenagakerjaan, meskipun mereka berpotensi untuk mengikuti program asuransi tenaga kerja dan jaminan pensiun secara mandiri.
Namun, rendahnya partisipasi pekerja gig dalam program ini menunjukkan betapa rentannya mereka terhadap masalah finansial di masa depan.
BACA JUGA: Harga Pangan Terlalu Murah Disebut Penyebab Deflasi di Indonesia Selama 5 Bulan Berturut-Turut
Negara-Negara yang Mengubah Status Pekerja Gig
Beberapa negara telah mulai melarang praktik gig economy yang tidak memberikan hak layaknya karyawan tetap.
Inggris, Swiss, Belanda, Malaysia, dan Spanyol adalah beberapa negara yang telah memutuskan untuk memberikan hak-hak yang setara bagi para pekerja gig.
Di Inggris, Mahkamah Agung memutuskan bahwa driver Uber harus diperlakukan sebagai karyawan yang berhak atas cuti dan gaji minimum.
Di Belanda, pengadilan juga memutuskan bahwa kontrak pengemudi Uber tidak sah dan para pengemudi memiliki hak yang sama seperti pekerja tetap.
Inisiatif serupa juga datang dari Air Asia di Malaysia, yang memberikan hak-hak yang sama kepada driver mereka dengan karyawan tetap, termasuk asuransi kesehatan dan jaminan hari tua.