CIANJURUPDATE.COM – Zaman sekarang, rasanya hampir semua orang bersentuhan dengan Artificial Intelligence (AI).
Mulai dari minta rekomendasi lagu, cari jawaban cepat, sampai, ya, bikin tulisan.
Nggak bisa dipungkiri, AI memang keren banget kemampuannya.
Lihat saja, banyak yang sudah pakai AI untuk bikin caption media sosial, nulis script Reels singkat, bahkan menyusun kerangka artikel atau esai.
Cepat, praktis, dan kadang hasilnya lumayan oke.
BACA JUGA: 5 Tips Memilih Jam Tangan Condotti untuk Acara Formal, Penting!
Apakah Penulis Masih Relevan Saat AI Merajalela?
Melihat fenomena ini, wajar kalau muncul pertanyaan di benak kita, terutama yang suka atau bercita-cita jadi penulis, “Kalau mesin saja bisa nulis, apakah profesi atau skill menulis ini masih ada harganya? Masih relevan?”
Jawabannya, singkat saja: Masih, dan bahkan sangat relevan.
Kenapa begitu? Karena secanggih apa pun AI, kita sebagai manusia punya senjata rahasia yang (sampai saat ini) belum bisa ditiru mesin sepenuhnya.
AI itu pintar karena data.
Dia bisa mengolah miliaran teks yang pernah ada di internet, merangkumnya, dan menyajikannya dalam format baru.
BACA JUGA: 3 Cara Menerapkan Muru’ah Bagi Pelajar Agar Bisa Terus Berprestasi
AI Punya Data Tapi Tidak Punya Pengalaman dan Perasaan
Tapi, ada satu hal fundamental yang AI nggak punya yaitu pengalaman nyata dan perasaan.
AI tidak pernah merasakan deg-degannya wawancara narasumber penting, getirnya patah hati yang jadi inspirasi puisi, atau senangnya menemukan sudut pandang unik setelah riset mendalam berhari-hari.
AI tidak punya empati, intuisi, dan orisinalitas yang lahir dari pergulatan batin dan interaksi sosial sesungguhnya.
Memang, kemampuan menulis dasar seperti menyusun kalimat efektif atau merangkum informasi mungkin perlahan jadi skill basic karena AI bisa melakukannya.
Kalau sudah begini, bukan berarti kita menyerah.
Justru, ini saatnya otak kita yang perlu di-upgrade.
BACA JUGA: Tips Beli Rumah Second dari PLN, Pastikan Kelistrikan Aman dan Normal
Penulis Wajib Naik Level
Kita harus naik level. Bagaimana caranya?
Perkuat kemampuan analisis mendalam, riset yang tidak hanya di permukaan (termasuk turun lapangan atau wawancara), dan bangun jejaring untuk mendapatkan informasi eksklusif.
Dengan modal ini, kita bisa menghasilkan tulisan yang ‘berdaging’, punya perspektif unik, dan menyentuh sisi manusiawi pembaca, sesuatu yang sulit dihasilkan AI.
Coba perhatikan, tulisan yang murni dihasilkan AI seringkali terasa generik, datar, dan jawabannya itu-itu saja, mudah ditemui di mana-mana.
Di sinilah letak ‘taring’ penulis di era AI yakni menawarkan pandangan baru, menjawab pertanyaan pembaca dengan solusi yang out-of-the-box, dan menyajikan cerita dengan ‘rasa’.
Ketika tulisan kita mampu memberikan insight yang tidak umum atau menggugah emosi, pembaca akan tetap mencari karya kita.
Jago Menulis Saja Belum Cukup
Tapi, tunggu dulu. Jago menulis saja ternyata belum cukup di era digital ini.
Kita juga perlu membekali diri dengan kemampuan digital marketing atau setidaknya content marketing.
Paham bagaimana mendistribusikan tulisan kita, mengemasnya agar menarik di media sosial, atau bahkan dasar-dasar SEO (Search Engine Optimization) bisa jadi nilai tambah yang signifikan.
Kenapa? Karena di zaman orang lebih sering baca judul daripada isi beritanya, kita butuh kreativitas ekstra untuk ‘menggaet’ perhatian mereka dari detik pertama.
Bingung mulai dari mana? Inspirasi itu banyak banget.
Coba intip akun-akun content creator atau content marketer luar negeri di platform seperti LinkedIn atau Instagram.
Mereka sering banget berbagi strategi dan tips keren.
Jadi, kesimpulannya, manusia tidak perlu melawan AI.
Anggap saja AI sebagai asisten canggih.
Yang perlu kita lakukan adalah menjadi ahli dalam memanfaatkannya, sambil terus mengasah kemampuan berpikir kritis, kreativitas, empati, dan keahlian spesifik lainnya.
Dengan begitu, profesi penulis bukan hanya relevan, tapi bisa jadi semakin kuat dan berharga di masa depan.