Kisah Ketangguhan Relawan Bencana di Cianjur, Dibayar Karena Allah, Sekuat Tenaga Melakukan Penyelamatan

CIANJURUPDATE.COM, Cianjur – Sebagai daerah yang masuk pada wilayah rawan bencana, Kabupaten Cianjur memiliki potensi cukup tinggi mengalami bencana longsor, banjir, gempa bumi, hingga pergerakan tanah. Tak heran jika kini Pemkab Cianjur terus mengerahkan potensi relawan bencana di seluruh pelosok desa.

Salah seorang relawan Jaga Bala Rescue dari Paguyuban Pasundan, Cepi Hermansyah (42) mengungkapkan, ia sudah menjadi relawan selama 22 tahun, sejak dirinya duduk di bangku tingkat SMA. Insting kerelawanan dalam dirinya yang sudah terpupuk lama, membuat ia terus konsisten menjadi relawan bencana hingga saat ini.

Cepi yang juga bekerja sebagai guru honorer di SMA 2 Pasundan ini tetap memilih menjadi relawan dan membantu orang yang terkena musibah, meskipun nyawa taruhannya. Sebab bukan tidak mungkin, di tengah penyelamatan risiko-risiko besar kerap datang menghampiri.

“Dengan menjadi relawan, saya bisa belajar bagaimana cara memanusiakan manusia. Selain itu, alasan kenapa ia ingin menjadi relawan karena saya berpikir jika ada anggota keluarga saya yang menjadi korban bencana, saya bisa dengan sigap melakukan penyelamatan,” ujar Cepi saat diwawancarai Cianjur Today, Sabtu (20/3/2021).

Cepi mengatakan, kita sebagai manusia tidak bisa hanya diam saja jika melihat saudara yang terkena bencana, tanpa ada pergerakan apapun.

“Tapi atas dorongan dari dalam hati, selagi bisa membantu dan ada waktu, saya dengan ikhlas akan membantu turun ke lapangan di manapun dan kapanpun itu,” jelasnya.

Suka duka selama ia menjadi relawan sangat banyak. Cepi mengatakan, sukanya ialah bisa berkumpul dengan relawan yang lain dan bisa membantu orang lain itu adalah sesuatu keberhasilan melihat masyarakat bisa tersenyum kembali meskipun kondisinya tidak seperti apa dilihat yang sebenarnya.

“Sebenarnya kalau ditanya suka duka paling banyak mungkin, kalau tidur di mana saja, logistik seadanya. Intinya jadi sebetulnya kita harus bisa bertahan dalam semua kondisi,” ungkapnya.

Selain itu, Cepi menceritakan, duka saat penanganan di lapangan seperti kasus pencarian orang hilang yang hanyut di Pantai Jayanti Cidaun. Baginya duka, karena dalam seminggu korban tidak kunjung ditemukan. Bagi Cepi, itu suatu kegagalan sebagai relawan, namun apa boleh buat, karena itu faktor alam, sehingga ia tidak bisa apa-apa dan hanya bisa mendoakan korban.

Selain itu, sambung Cepi, waktu penanganan orang terjepit di badan truk tangki BBM di Tanggeung menjadi duka karena ketika penanganan sebetulnya ia tengah bermain dengan bom waktu. Karena, menurutnya, isi dalam mobil truk tersebut adalah BBM jenis Pertalite dan Premium yang mudah terbakar.

“Saya dan tim ada di sana, jika tangki meledak, otomatis kami pun akan jadi korban juga. Namun, alhamdulillah di sana kami mendapatkan suka, karena korban bisa terangkat dan itu suatu kebanggaan bagi kami,” terangnya.

Cepi menuturkan, ada pengalaman evakuasi yang paling parah dialaminya, yaitu saat mencari korban kapal sukoi yang jatuh menabrak Gunung Salak. Karena ketika di sana, ia bersama tim relawan harus benar-benar berjuang mati-matian untuk mencari korban pesawat yang meledak.

“Itu yang paling parah kang, karena saat evakuasi kita juga masuk jalur di sana. Untuk masuk ke situnya saja sudah sulit, tapi kami bersama tim bershukur bisa melakukan evakuasi,” bebernya.

Cepi pun bercerita saat menangani kejadian longsor di Cimanggu Sumedang yang memakan korban sebanyak 40 orang. Bahkan ada anggota BPBD dan anggota Danramil setempat tertimbun longsor, termasuk ada juga seorang relawan yang meninggal dunia.

“Kami di sana sudah 10 hari, sampai kami sudah jenuh, tapi dengan pergerakan dari teman-teman relawan serta kerja sama yang kuat, rasa jenuh itu hilang dengan cepat. Alhamdulillah tertangani semua walau ada mayat yang sudah hancur dan tidak utuh,” ungkapnya.

Cepi mengatakan, setiap penyelamatan dilakukan sangat hati-hati dan semua relawan wajib mengetahui fungsi peralatan, medan bencana, serta apa yang harus dilakukan ketika ada kendala tak terduga.

“Jadi intinya sebelum kita menolong orang lain, pastikan dahulu diri kita aman atau tidak. Karena jika mengancam nyawa kita, tidak boleh dipaksakan,” jelasnya.

Cepi menyebut, menjadi relawan itu tidak dibayar dengan uang atau materi, tapi yang menggaji itu nanti adalah langsung dari Allah Swt.

“Satu lagi bayaran paling mahal bagi saya, yaitu melihat keluarga korban yang kita tolong bisa tersenyum, bisa tertawa, dan bisa berkumpul kembali dengan anggota keluarganya. Subhanallah, jadi relawan itu benar-benar harus dari hati,” ucapnya.

Di awal terjun ke dunia relawan, Cepi mengungkapkan, jika keluarganya sempat kurang setuju, karena ibaratnya bidang yang ia geluti ini, risikonya adalah nyawa. Akan tetapi, dengan penjelasan dan kebulatan hatinya menjadi relawan, akhirnya keluarga pun mengerti.

“Alhamdulillah saat ini keluarga sudah mau mengerti dan mendukung penuh. Hanya saja harus menunaikan kewajiban, sebagai seorang kepala keluarga, ingat shalat lima waktu, dan fokus saat penanganan bencana di manapun,” tandasnya.(ct6/sis)

Exit mobile version