Laporan Bank Dunia Ungkap 1 dari 4 Perusahaan Indonesia Terlibat Penghindaran Pajak

CIANJURUPDATE.COMLaporan Bank Dunia yang dirilis dalam Prospek Ekonomi Indonesia Desember 2024 mengungkapkan fakta mencengangkan mengenai penghindaran pajak di Indonesia. Berdasarkan laporan berjudul Funding Indonesia’s Vision 2045, satu dari empat perusahaan Indonesia terlibat dalam penghindaran pajak pada tahun 2023. Fenomena ini diakui oleh 26 persen responden wajib pajak badan.

Penghindaran pajak terjadi lebih sering pada perusahaan non-eksportir, yang merasa administrasi pajak sebagai beban, dan yang bersaing dengan sektor informal. Laporan tersebut menyebutkan, satu dari tiga perusahaan yang disurvei menganggap tarif dan administrasi pajak sebagai hambatan besar bagi usaha mereka. Sebanyak 55,6 persen dari mereka juga mengakui bersaing dengan pelaku usaha informal. Sebagian besar perusahaan merasa lebih sulit memformalkan kegiatan usaha karena pajak menjadi kendala utama.

“Sekitar setengah dari perusahaan melaporkan bahwa mudah untuk menghindari pembayaran PPh Badan atau PPN,” tulis laporan tersebut. Hal ini mencerminkan adanya kelemahan dalam sistem administrasi pajak di Indonesia. Selain itu, 52 persen responden menyatakan bahwa mereka dapat dengan mudah menghindari kewajiban pembayaran PPh Badan secara penuh, sementara 44 persen tidak membayar PPN yang dikenakan.

BACA JUGA: Dampak PPN 12 Persen, Kenaikan Biaya Hidup yang Menggerus Daya Beli Masyarakat

Penerimaan negara melalui pajak korporasi seharusnya dapat dimaksimalkan, terutama di sektor-sektor berkembang seperti digital, sawit, dan batu bara. Namun, kebijakan pemerintah yang justru menurunkan tarif PPh Badan pada 2025 justru memperburuk keadaan. Target penerimaan pajak korporasi tahun depan diperkirakan turun 13,6 persen menjadi Rp369,95 triliun, dari sebelumnya yang mencapai Rp428,59 triliun.

Media Wahyudi Askar, Direktur Kebijakan Publik, menyatakan bahwa tidak ada data yang mendukung bahwa penurunan tarif pajak akan lebih menguntungkan ekonomi dibandingkan dengan pendapatan yang hilang akibat pengurangan tarif ini. Penurunan tarif PPh Badan berisiko memperburuk kesenjangan fiskal yang ada, terutama di sektor yang tengah menikmati keuntungan besar.

Sementara itu, banyak perusahaan masih memilih untuk tidak patuh pada kewajiban perpajakan mereka, memilih untuk masuk ke sektor informal. Ini menambah tantangan bagi pemerintah dalam mencapai target penerimaan yang lebih besar. Namun, menurut Ahli Pajak Ronny Bako, penurunan tarif pajak di Indonesia sejalan dengan kebijakan negara-negara lain yang mengadopsi tarif pajak rendah untuk menarik korporasi.

BACA JUGA: PPN Naik Jadi 12 Persen di Awal 2025, Harga Barang dan Jasa Akan Naik

Namun, ada perbedaan penting dalam pendekatan tersebut. Negara-negara dengan tarif pajak rendah mengoptimalkan penerimaan melalui pemantauan pajak terhadap pemilik perusahaan, atau beneficial owners (BO). Hal ini yang belum sepenuhnya diterapkan di Indonesia, yang menyebabkan penghindaran pajak tetap terjadi.

Laporan Bank Dunia juga menyoroti bahwa tantangan utama adalah kurangnya pengawasan terhadap pemilik manfaat perusahaan. Pemerintah Indonesia perlu bekerja lebih erat dengan Kementerian Hukum dan HAM untuk memantau pemilik manfaat yang seharusnya memenuhi kewajiban pajak mereka. Hal ini akan meningkatkan akurasi dan efektivitas dalam memungut pajak.

Dalam konteks ini, strategi pemerintah yang mengandalkan PPN sebagai sumber utama penerimaan, dengan target Rp75 triliun pada 2025, mungkin tidak akan cukup untuk mengimbangi potensi penerimaan dari pajak badan. Pemerintah harus mempertimbangkan untuk lebih fokus pada pengawasan pajak korporasi dan BO agar penerimaan negara lebih optimal.

Exit mobile version