Membangun Kemandirian Negara Tanpa Utang

Penulis : Tawati (Muslimah Revowriter Majalengka)

Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil membuka gelaran the third West Java Investment Summit (WJIS) 2021 di Kota Bandung, Kamis (21/10). Dalam kesempatan ini, dilakukan peluncuran Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 87 Tahun 2021 soal percepatan pembangunan kawasan Rebana dan Jawa Barat bagian selatan. Perpres tersebut akan semakin memperkuat keyakinan para calon investor mengenai besarnya potensi dan manfaat berinvestasi di Jawa Barat. (cnn.indonesia, 22/10/2021)

Selintas penawaran pengembangan sebuah wilayah kepada investor menjadi solusi atas kekurangan dana untuk pembangunan. Namun, bukankah ini akan menjadi jalan bagi investor asing untuk mengelola lahan dan mengeruk berbagai kekayaan alam di negeri ini?

Bagaimana pandangan Islam tentang keterlibatan investor dalam pembangunan infrastruktur? Apa solusi yang diberikan Islam jika negara tidak memiliki modal cukup untuk membangun infratruktur negerinya? Lalu bagaimana Islam mengatur sistem penanaman investasi asing?

Ada beberapa tindakan yang wajib dilakukan oleh negara, yaitu sebagai berikut:

1) Investor asing tidak diperbolehkan melakukan investasi dalam bidang yang strategis atau sangat vital. Mengapa demikian? Sebab jika pihak asing melakukan investasi terhadap bidang-bidang yang strategis dan vital, maka bisa dipastikan bahwa investor asing tersebut akan dengan seenaknya melakukan praktik bisnis yang merugikan rakyat.

Hal ini jelas haram, sebab akan bisa menjadi wasilah (sarana) bagi orang kafir untuk menguasai kaum muslimin. Allah SWT berfirman, “..dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (QS. An Nisa: 141)

2) Investasi asing tidak boleh dalam bidang yang membahayakan. Contohnya adalah investasi dalam pembalakan hutan, budidaya ganja, produksi khamr maupun ekstasi, dan lain-lain.

Semua perbuatan tersebut jelas perbuatan yang membahayakan diri seseorang. Oleh karena itu, investasi semacam ini tidak diperbolehkan. Sebab akan menimbulkan bahaya (dharar) atas kaum Muslim. 3) Investor hanya diperbolehkan dalam bidang yang halal.

4) Investasi asing tidak diperbolehkan pada kepemilikan umum (harta rakyat). Apa saja yang termasuk harta rakyat? Imam Abu Dawud meriwayatkan sebuah hadis, Rasulullah SAW bersabda: Al muslimuuna syurakaa-u fi tsalaatsin, fil kalaa-i, wal maa-i, wan naari (Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal: air, hutan, dan api). Arti berserikat adalah bahwa kaum muslimin memiliki hak untuk tiga hal yaitu: air, hutan, dan api.

Hutan, jelas, hal ini juga tidak diperbolehkan untuk dikuasai orang asing. Api, dalam hal ini adalah sumber energi. Sumber energi, apapun itu, tidak boleh dijual ke asing. Sumber energi adalah milik rakyat. Tidak hanya itu. Ada hal-hal lain yang termasuk kepemilikan umum yang lain, di antaranya sebagai berikut.

Pertama, benda-benda yang merupakan fasilitas umum. Jika tidak ada benda-benda ini, maka kaum Muslim akan kesulitan dalam menjalani hidup atau terjadi kekacauan. Misalnya: sumber tenaga listrik. Kedua, benda-benda yang sifat bentuknya menghalangi untuk dimiliki individu atau pihak-pihak tertentu (sekalipun bukan individu). Misalnya: jalan, jalan raya, laut, danau, sungai, dan lain-lain. Ketiga, jumlah tambang yang jumlahnya besar. Contohnya: tambang emas di Papua, tambang bijih besi, tambang nikel, dan sebagainya.

5) Investasi asing tidak boleh dalam hal yang membahayakan akhlak orang Islam. 6) Investor tidak diperbolehkan bergerak di sektor nonriil. Contohnya adalah investasi di bidang pasar modal. Jual beli dalam konteks ini tidak diperbolehkan. Sebab, jual beli dalam konteks ini justru menjadi penyebab kehancuran ekonomi sebuah peradaban. Termasuk segala bentuk muamalah yang mengandung riba, semua diharamkan.

7) Investor yang akan berinvestasi, bukanlah investor yang terkategori muharriban filan. Yang dimaksud dengara muhariban filan adalah negara yang secara nyata memerangi Islam dan kaum Muslimin. Hal ini jelas tidak diperbolehkan. Sebab, bagaimana mungkin negara yang berdasarkan sistem Islam akan menjalin hubungan dengan negara yang nyata-nyata memerangi sistem Islam?

Adapun Utang luar negeri untuk pendanaan proyek-proyek adalah cara yang paling berbahaya bagi eksistensi negeri Muslim. Utang antar negara menjadi jalan untuk menjajah negara yang berutang. Baik utang yang berasal dari kawasan Barat (asing) ataupun Timur (aseng). Negara-negara Barat sebelum Perang Dunia I menempuh cara-cara memberi utang kemudian mereka melakukan intervensi menduduki negeri Islam (Abdurrahman Al-Maliki, Politik Ekonomi Islam).

Sejatinya, pemberian utang berbalut investasi adalah ibarat racun berbalut madu yang perlahan tapi pasti akan membuat rakyat menderita dan negeri terjajah. Utang yang diterima negeri Muslim tidak menghasilkan apa-apa kecuali bertambahnya kemiskinan pada negara yang berutang. William Douglas, Hakim Mahkamah Agung Amerika Serikat menyampaikan pidatonya pada pertemuan freemansory di Seattle 1962:

Ada banyak negara yang kondisinya terus bertambah buruk akibat bantuan Amerika yang diterimanya. Sungguh para pejabat tinggi di negara-negara tersebut telah berhasil menjadi orang-orang kaya lantaran bantuan Amerika, sedang pada waktu yang bersamaan individu-individu rakyat mulai binasa karena kelaparan.

Dahulu kita di era kepemimpinan Truman dan Eisenhower, kita memerangi komunisme di luar negeri dengan kapal, bom, senapan, dan dolar. Bantuan-bantuan keuangan digunakan untuk mengangkat kedudukan para tuan tanah, bukan untuk pendanaan pekerjaan-pekerjaan perbaikan. Bantuan-bantuan itu digunakan untuk memperkuat posisi para pemimpin kaum feodal, dan bukan untuk memperbaiki keadaan rakyat dengan merealisasikan keadilan ekonomi.

Kalaupun diasumsikan utang-utang ini digunakan untuk pembiayaan proyek-proyek produktif, menerima utang saja sudah sangat berbahaya terhadap eksistensi negara. Lantas, benarkah tidak mungkin membangun negara tanpa utang dan investasi asing?

Catatan LSM Fitra (2017) lalu menyebutkan, saat ini tak satu pun negara yang tidak berutang. Bahkan Jepang, Italia, dan Inggris serta AS diketahui memiliki utang amat besar, 3-5 kali lebih besar daripada RI. Namun, negara-negara itu dinilai sukses mengelola utangnya untuk pembiayaan proyek-proyek pemerintah yang benar-benar mendorong peningkatan bisnis dan usaha kalangan dunia usaha dan masyarakat luas.

Namun, hal yang tidak boleh luput dari analisis kita adalah posisi negara-negara tersebut dalam percaturan politik dunia. Sebagai negara pengemban ideologi kapitalisme-sekulerisme, atau paling tidak mengambil ideologi tertentu dalam kehidupan bernegaranya, maka road map nya akan lebih jelas dalam mengatur keuangan negara. Meskipun salah. Dampak kesalahan konsep keuangan dengan melanggar aturan Allah SWT, bisa kita lihat dari limbungnya ekonomi, krisis finansial siklik, dan ketidakadilan ekonomi.

Lalu bagaimana membiayai kebutuhan keuangan pembangunan tanpa terjerat utang dan investasi asing? Negara mandiri di dalam sistem Islam, Bayt al-Mal merupakan institusi khusus yang menangani harta yang diterima negara dan mengalokasikannya bagi kaum Muslim yang berhak menerimanya. Setiap harta, baik berupa tanah, bangunan, barang tambang, uang, maupun harta benda lainnya, yang kaum Muslim berhak memilikinya sesuai hukum Islam, maka harta tersebut adalah hak Bayt al-Mal kaum Muslim.

Sistem keuangan negara di dalam pengaturan Islam telah terbukti berhasil mewujudkan kemakmuran, kesejahteraan, dan keadilan bagi muslim dan non muslim selama beberapa abad. Pos-pos pendapatan dalam sistem keuangan Bayt al-Mal terdiri dari tiga pos pemasukan utama yang masing-masing rinciannya memiliki banyak ragam jenis pemasukan.

Pertama, bagian fa’i dan kharaj. Fa’i adalah salah satu bentuk rampasan perang, dan kharaj adalah retribusi atas tanah atau hasil produksi tanah dimana para pemilik tanah taklukan tersebut membayar kharaj ke negara Islam. Kedua, bagian pemilikan umum. Kepemilikan umum adalah izin dari al-Shari‘ kepada jama‘ah (masyarakat) untuk secara bersama-sama memanfaatkan sesuatu. Kepemilikan umum meliputi segala sesuatu yang menjadi kebutuhan vital bagi masyarakat, segala sesuatu yang secara alami tidak bisa dimanfaatkan hanya oleh individu secara perorangan, dan barang tambang yang depositnya tidak terbatas, yaitu barang tambang yang jumlahnya sangat banyak. Ketiga, bagian sadaqah. Bagian sadaqah terdiri dari zakat uang dan perdagangan, zakat pertanian dan buah-buahan, zakat ternak unta, sapi, dan kambing.

Kebijakan fiskal Bayt al-Mal akan membelanjakan anggarannya untuk investasi infrastruktur publik dan menciptakan kondisi yang kondusif agar masyarakat mau berinvestasi untuk hal-hal yang produktif. Pada zaman Rasulullah SAW, beliau membangun infrastruktur berupa sumur umum, pos, jalan raya, dan pasar. Pembangunan infrastruktur ini dilanjutkan oleh Khalifah ‘Umar bin Khattab ra. Beliau mendirikan dua kota dagang besar yaitu Basrah (sebagai pintu masuk perdagangan dengan Romawi) dan kota Kuffah (sebagai pintu masuk perdagangan dengan Persia).

Khalifah ‘Umar bin Khattab ra juga membangun kanal dari Fustat ke Laut Merah, sehingga orang yang membawa gandum ke Kairo tidak perlu lagi naik unta karena mereka bisa menyeberang dari Sinai langsung menuju Laut Merah. Khalifah ‘Umar bin Khattab ra juga menginstruksikan kepada gubernurnya di Mesir untuk membelanjakan minimal 1/3 dari pengeluarannya untuk infrastruktur. (Karim, Ekonomi Makro Islami)

Menurut Ibnu Khaldun, dalam Welfare State Islami, pemerintah hendaknya menggunakan kekuasaannya untuk membuat fungsi pasar berjalan lancar, dengan membuat berbagai infrastruktur yang berfungsi memperlancar kegiatan ekonomi. Negara juga harus berorientasi pada kesejahteraan rakyat, memiliki kebijakan anggaran, menghargai hak milik masyarakat dan menghindari pungutan pajak yang memberatkan. Negara harus mengutamakan keadilan, pembangunan dan kemakmuran serta menginginkan negara yang menjamin penerapan syariah dan negara yang berfungsi sebagai instrumen pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.

Menurut Ibnu Taymiyyah, aktivitas ekonomi dan pengembangan biaya sosial atau infrastruktur semisal transportasi dan komunikasi yang memakan biaya yang tinggi, negara memiliki kewajiban menanggungnya. Sebuah pertimbangan untuk menjadikan bagian dari pembiayaan publik diperlukan untuk membangun kanal, jembatan, jalan, dan sebagainya. Abu Yusuf mengungkapkan pentingnya pembangunan infrastruktur dalam penggunaan dana publik untuk mendukung produktifitas dalam meningkatkan pendapatan negara.

Sebagaimana kita ketahui, negeri ini telah dikaruniai berbagai sumber daya alam dalam jumlah potensi yang sebagian besarnya masuk dalam peringkat sepuluh besar di dunia, semestinya bisa menjadi negeri yang makmur dan sejahtera. Terlebih lagi dengan jumlah populasi penduduk yang sangat besar, jika dikelola dengan baik semestinya juga bisa menjadi faktor penggerak perekonomian yang potensial.

Dengan konsep Islam yang ditawarkan, yaitu mekanisme kebijakan fiskal Bayt al-Mal, sebuah sistem keuangan negara berbasis syariah. Saatnya lah umat membangun kemandirian negara dengan menerapkan Islam kaffah yang terbukti menyejahterakan.

Wallahu a’lam bishshawab.(*)

Exit mobile version