Kabar duka membawa kelabu bagi MAN 1 Cianjur dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kabupaten Cianjur. Kamis, 5 Agustus 2021, tokoh jurnalistik itu sudah kembali pada Sang Khalik setelah berjuang di ranjang rumah sakit. Pak Lily Azies Saleh, menjadi pejuang jurnalistik yang gugur sebagai orang baik.
Saya ingat ketika pertama kali melakukan “PDKT” dengan Pak Lily. Tahun 2016, saya iseng membawa bekal makanan ke sekretariat Karya Ilmiah dan Jurnalistik (KIJ). Kemudian, mengajakan Pak Lily makan bersama sambil berbincang kesana, kemari. Semakin cair, semakin saya tahu betapa baiknya bapak.
Aktif di ekskul KIJ membuat saya semakin dekat dengan Pak Lily. Setiap jam istirahat, bapak selalu sibuk di depan layar laptopnya untuk menyunting atau mengedit naskah yang masuk untuk Majalah ISMA. Bagi saya, aktifitas itu adalah ladang ilmu, akhirnya saya duduk tepat di sebelah kiri bapak. Hampir setiap hari, memperhatikan dan belajar menulis yang baik dan benar.
Keseharian itu membuat kemampuan menulis saya sedikit demi sedikit berkembang. Setiap selesai menulis berita atau artikel, saya selalu bertanya apakah ada yang salah dari tulisan saya. Apakah ada hal yang perlu diperbaiki. Sehingga saya bisa terus mengembangkan tulisan tanpa ada kesalahan sedikit pun.
Pak Lily selalu bercerita tentang pegalamannya di dunia jurnalistik. Mulai dari pengalamannya kabur dari tentara, menulis menggunakan mesin tik, sampai perjalanan kuliahnya yang penuh liku. Inspiratif, kisah-kisah itu yang membuat saya semakin ingin menjadi wartawan. Terpacu untuk terus menulis setiap hari dan tetap berkarya.
“Tiada hari tanpa menulis”. Slogan itu menjadi ciri khas ekskul KIJ. Namun, dalam suatu ketika Pak Lily bercerita bahwa slogan itu adalah motto hidupnya. Setiap hari menulis untuk bisa memenuhi kebutuhan, baik materi maupun jiwa. Dari Pak Lily Azies, saya paham bahwa menulis bukan soal uang, tapi pemenuhan jiwa dan pikiran.
Motto Hidup Pak Lily Azies
Suatu ketika, saya menemukan Majalah ISMA dirobek menjadi dua bagian oleh orang yang tidak bertanggungjawab. Saya tidak ingin memberitahu kejadian itu pada Pak Lily, namun teman yang lain malah mengadukannya. Mendapati hal itu, saya melihat raut wajah sedih dan marah dari Pak Lily, matanya seakan ingin mengeluarkan air mata. Dari situ, saya sadar bahwa karya tulis adalah emas yang berharga, dilahirkan dari pemikiran yang cerdas dan kreatif.
Tahun 2019, saya lulus dari MAN 1 Cianjur dan memulai karir sebagai wartawan di Cianjur Update. Setelah berprofesi sebagai wartawan, meskipun masih muda, hal yang saya lakukan adalah memberitahu Pak Lily. Kemudian meminta arahan dan wejangan agar tetap konsisten dan produktif di dalam pekerjaan saya.
Bertahan di profesi ini adalah bentuk pengaplikasian ilmu yang diberikan Pak Lily. Dari bapak saya belajar bahwa menulis adalah ilmu dasar yang menjadi penunjang untuk mempelajari dan mendalami semua ilmu yang ada. Keterampilan menulis kini menjadi yang paling dicari di era modern. Tidak salah saya berguru kepada Pak Lily.
Setelah pensiun, Pak Lily kembali menjadi wartawan di Warta Parahyangan. Tidak banyak berita yang ditulis bapak, sebagian besar adalah berita saya yang ditulis ulang olehnya. Saya sadar, fisik bapak sudah lemah, namun semangat menulisnya tidak pernah padam.
Percakapan WhatsApp terakhir dari Pak Lily kepada saya adalah:
“Sal, mun ngaliput kurban di PWI, apih nyungkeun data sr fotona. Nuhun”
Pesan itu dikirim pada 22 Juli 2021. Namun, saya baru bisa membalasnya esok hari dengan permintaan maaf. Sebab, tugas liputan saya dialihkan ke Cianjur utara.
Saya senang sempat belajar dan berguru pada tokoh jurnalistik seperti Pak Lily. Senang sempat berbagi tulisan dengan almarhum yang sedikit demi sedikit saya anggap membalas jasa beliau terhadap saya.
Dari Beliau Saya Berhasil Mewujudkan Cita-Cita untuk Menjadi Seorang Jurnalis.
Selamat jalan, Pak Lily Azies Saleh
Sumber: afsalmuhammad.xyz