CIANJURUPDATE.COM – Pendopo merupakan bangunan yang sejak dulu dijadikan sebagai pusat pemerintahan Kabupaten Cianjur. Lokasinya yang berada di lingkungan perkotaan dan menjadi pusatnya kota Cianjur.
Secara administratif masuk dalam wilayah Kampung Kebon Kembang, Kelurahan Pamoyanan, Cianjur Kota. Secara astronomis terletak pada koordinat 6°49’18” LS dan 107°8’42” BT.
Pendopo dikelilingi oleh empat ruas jalan dan di dalam area yang sama terdapat beberapa bangunan pemerintahan. Di bagian depannya terdapat alun-alun, Masjid Agung Cianjur, dan salah situs yang cukup penting dalam riwayat pemilihan lokasi sebagai kota, yaitu mata air yang dikenal dengan “pangguyangan badak putih”.
Pendopo merupakan salah satu bangunan terpenting dalam sejarah suatu kota pusat pemerintahan, seperti Kabupaten Cianjur. Sekarang pendopo sudah menjadi kompleks bangunan karena banyaknya bangunan lainnya.
Kompleks tersebut mengandung beberapa peninggalan budaya masa lampau selain bangunan pendopo itu sendiri. Bangunan pendopo dibangun pada sekitar tahun 1780 setelah bangunan yang lama hancur akibat gempa pada tahun 1779.
Bangunan pendopo menghadap ke utara ke arah jalan raya. Secara umum bangunan ini berupa bangunan permanen dengan campuran gaya bangunan lokal dan Eropa.
Pada bagian depan bangunan tedapat teras dan tiang-tiang bergaya Eropa, pintu dan jendela berukuran besar. Atap terbuat dari genting dan bersusun. Pada bagian belakang terdapat kolam dan dua “buyung” serta batu tegak.
Buyung merupakan bangunan berongga dari batu setinggi sekitar 70 cm dan berbentuk kuncup bunga. Selain itu, pada bagian depan kompleks pendopo dijumpai lonceng logam berukuran cukup besar berangka tahun 1774 yang digantungkan pada tiang dari beton.
Di sudut sebelah barat kawasan pendopo Kabupaten Cianjur, terdapat lonceng tua. Tak banyak orang tahu asal usul benda kuno tersebut termasuk Bupati Cianjur. Bagi kalangan sepuh di kota tauco ini, keberadaan lonceng kabupaten memiliki kenangan tersendiri.
Pada akhir 1950-an, secara rutin lonceng kabupaten kerap dibunyikan setiap hari dan jumlah pukulannya disesuaikan dengan angka jam yang sedang berlangsung.
Lebih jauh lagi, pada 1900-an, lonceng kabupaten pernah dijadikan pengingat berlangsungnya jam malam. Pada masanya, beberapa petugas keamanan kabupaten berkeliling untuk memeriksa apakah masih ada penduduk berkeliaran atau tidak.
Jika mendapatkan penduduk termasuk para bocah masih berada di luar rumah maka mereka langsung disuruh untuk segera masuk rumah.
Lonceng kapubaten pun di era Hindia Belanda pernah berfungsi sebagai pemberi informasi telah terjadinya suatu peristiwa penting di Cianjur. Dalam Preanger Bode tertanggal 23 Maret 1910.
Dikisahkan ketika bupati terkemuka Cianjur R. Prawiradiredja II mangkat pada 17 Maret 1910, lonceng kabupaten dibunyikan beberapa kali tepat pada jam 06.00 Wib disusul bunyi beduk bertalu-talu dari Masjid Agung Cianjur .
Lonceng Kabupaten
Banyak versi yang beredar sekitar asal-usul lonceng kabupaten. Namun jika mengacu kepada tulisan yang tertera di kepala lonceng (Borchhard Gegoten In T Ambagd Qwartir Tot Batavia 1774), besar kemungkinan lonceng itu dibuat di Batavia oleh Johan Christian Borchhard, seorang pengrajin lonceng Eropa terkemuka pada abad ke-18.
Lonceng buatan Borchhard tersebar dari Belanda hingga Afrika Selatan, kata Valeron Najoan, penulis sejarah yang rajin menelusuri arsip-arsip tua berbahasa Belanda.
Borchhard sebenarnya seorang berkebangsaan Jerman, namun menjelang kematiannya pada 1777, Ia kerap bermukim di Enkhuizen, Belanda. Dari penelisikan yang dilakukan oleh Valeron, ada dua lonceng karya Borchhard yang dibuat di Batavia, khusus untuk Gubernur Jenderal VOC (Maskapai Perdagangan Hindia Belanda) ke-29 Petrus Albertus van Der Parra.
Lonceng pertama selesai pada tahun 1772 sedangkan lonceng kedua rampung pada tahun 1774, setahun sebelum Van Der Parra meninggal secara mendadak.
Bagaimana Lonceng Tua tersebut Bisa Berada di Cianjur?
Soal itu memang belum terjawab secara pasti oleh para peneliti sejarah dan para sejarawan. Dalam buku Sejarah Cianjur karya Raden Makbul Husein dan Abdur Rauf, disebutkan bahwa lonceng itu konon dihadiahkan oleh VOC untuk Aria Waratanudatar bupati pertama Cianjur.
Ada dua kemungkinan lonceng itu bisa disimpan di Cianjur. Pertama, bisa jadi itu dihibahkan pemerintah Hindia Belanda kepada Cianjur di awal abad ke-19, sebagai simbol penghargaan.
Menurut Jan Breman dalam buku Keuntungan Kolonial dari Kerja paksa, sejak awal abad ke-18 Cianjur merupakan sumber devisa terbesar bagi pemerintah Hindia Belanda pasca VOC runtuh akibat korupsi. Terutama untuk komoditas kopi.
Kedua, lonceng itu dihadiahkan khusus untuk Bupati Prawiradiredja II karena prestasinya yang sangat hebat dalam membangun Cianjur. Besar kemungkinan benda itu diberikan oleh pemerintah Hindia Belanda pada 1904 ketika pemerintahan Cianjur mengadakan pesta peringatan ke-40 berlangsungnya pemerintahan Prawiradiredja II.
Bataviaasch Nieuwsbladtertanggal 26 Agustus 1904, mengisahkan bagaimana saat itu para pejabat dan pemuka komunitas Eropa, Tionghoa dan tokoh-tokoh bumiputera memberikan berbagai aneka hadiah menarik kala itu kepada sang bupati.
Namun pastinya soal ini harus ditelisik lebih serius lagi oleh para peneliti sejarah dan para sejarawan, sehingga tidak ada lagi orang Cianjur yang buta pada sejarah kotanya sendiri.(ct7/sis)