OPINI: E-Goverment, E-Budgeting, Eeeeeeh Sama Aja

Penulis: Mulyana Der (Orang Awam Masa Kini)

SAAT itu, sore hari tanggal 21 September 2020, saya bertemu dengan seorang teman lama. Dia bercerita sedang membangun usaha baru di bidang jasa dengan bentuk perusahaan Perseroan Terbatas (PT).

Segala persyaratan pendirian sudah disiapkan komplit sampai akhirnya semua selesai dengan bantuan pejabat Notaris.

Karena dia orang bijak yang taat pajak, kemudian didaftarkanlah PT miliknya ke kantor pelayanan pajak agar mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

Semua persyaratan pendaftaran pun sudah komplit dan daftarlah dia secara online. Proses pendaftaran NPWP online, dia jalani satu persatu sampai dengan selesai dan dinyatakan berhasil.

“Terlihat di layar laptop tertera nomor NPWP dan ada tercantum status berhasil. Berarti memang sudah berhasil terdaftar,” kata dia.

Seminggu kemudian, dia berangkat ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama bersama saya mau mengambil kartu NPWP PT. Setibanya di kantor karena ini dalam masa pandemi corona, kami mengikuti prosedur pencegahan.

Dimulai dari memakai masker, dicek suhu badan, cuci tangan, dan berjaga jarak. Bertemulah kami dengan dua orang petugas KPP.

Mungkin resepsionis atau apalah namanya, saya tidak tahu pasti. Yang jelas kedua petugas itu perempuan yang jutek alias judesss.

Rasanya enggan bertemu lagi dengan kedua petugas itu. Tadinya semangat karena disambut dengan perempuan. Tapi karena juteknya, saya jadi malas.

Ditambah lagi kata petugas itu, persyaratan pengambilan NPWP-nya ada yang kurang, yaitu salah satu pengurus PT belum punya NPWP pribadi.

Nah dari situ, saya mulai berpikir. Di status pendaftaran online sudah jelas tertera “BerhasiL.” Bahkan nomor NPWP-nya pun sudah muncul. Tapi kenapa, pada saat mau mengambil kartu NPWP, kok tidak bisa?

“Semua pengurus PT harus melampirkan fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan potokopi NPWP pribadinya,” kata petugas.

Saya sedikit komplain karena menurut saya kami datang untuk mengambil kartu NPWP saja yang sudah jelas berhasil terdaftar.

Saya pun memperlihatkan bukti pendaftaran onlinenya. Petugas itu bersikukuh menolak dan saya tetap bersikeras ingin diterima.

“Di sini sudah jelas tertera berhasil. Berarti persyaratan kami sudah fix komplit dan sah. Kenapa kok diminta lagi persyaratan?” kata saya.

Agak lama, saya beradu mulut dengan petugas perempuan itu, tapi bukan berciuman. Adu mulutnya dalam jarak jauh, dihalangi masker, plus kaca penghalang interaksi. Berdebat maksud saya.

Sebagai orang awam, saya bertanya. “Kenapa diminta persyaratan lagi?” Kan sudah jelas terdaftar melalui online. Bahkan tertera di halaman pendaftaran online dinyatakan berhasil. Apa komputer yang salah. Apa sistem atau server. Atau bagai apa ? Salah dimana?

Menurut saya, kalau persyaratannya diminta lagi kenapa harus ada pendaftaran online? “Sama aja dooong.”

Katanya E-Goverment, katanya E-Budgeting, dan E lain- lain, eeeeh sama aja ribet, buang waktu, bertele-tele, dan berbelit. Pendapat saya, sebenarnya program “E” ini bagus tapi mungkin pelaksanaannya perlu dievaluasi agar lebih sederhana, lebih singkat, dan lebih mudah prosesnya.

Dalam bidang apa pun, pelayanan terhadap masyarakat jangan lagi ada kesulitan.

Apalagi ini mau taat membayar pajak, kok sulit. Petugasnya galak jadi malas datang ke kantor. Nanti kalau semua warga negara malas bayar pajak, kan repot juga.

Jangan sampai ada penambahan E-Pulus, masalah jadi halus. Proses cas cusss jadi mulus. Demikian Sudut Pandang “Orang Awam” masa kini. “Orang bijak taat pajak, petugasnya ga ramah jadi ogah.”

Exit mobile version