Nasional

Pakar Hukum Tata Negara Sebut Pencabutan TAP MPR Dinilai Berbahaya dan Mengancam Demokrasi

CIANJURUPDATE.COM – Pencabutan beberapa Ketetapan (TAP) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang melibatkan tiga mantan presiden Indonesia, yakni Soekarno, Soeharto, dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), pada Minggu (29/9/2024) menimbulkan kontroversi di kalangan masyarakat dan pakar hukum.

Kebijakan tersebut mendapat perhatian serius, terutama terkait dampaknya terhadap perkembangan demokrasi di Indonesia.

Dalam keterangannya, pimpinan MPR menjelaskan bahwa TAP MPR yang berkaitan dengan Soekarno, yang dituduh terlibat dalam peristiwa G-30-S/PKI pada 1965, telah dicabut berdasarkan TAP MPR Nomor I/MPR/2003.

Begitu pula dengan TAP MPR Nomor 11 Tahun 1998 yang menyebutkan Soeharto terkait pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), dinyatakan tidak berlaku lagi setelah meninggalnya presiden kedua RI tersebut.

Bahkan, muncul usulan dari Bambang Soesatyo untuk memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto.

Pencabutan TAP MPR ini juga menyentuh nama Gus Dur, dengan TAP MPR Nomor II/MPR/2001 tentang pertanggungjawaban presiden yang secara resmi tidak berlaku lagi.

MPR berharap agar pencabutan ini dijadikan pelajaran penting bagi pembangunan karakter bangsa di masa mendatang.

BACA JUGA: Soal Isu Jet Pribadi, Hasan Nasbi Bantah Gaya Hidup Mewah Kaesang Pangarep

Namun, langkah MPR ini mengundang reaksi dari berbagai pihak.

Pakar Hukum Tata Negara Universitas Airlangga, Ekawestri Prajwalita Widiati, menilai pencabutan TAP MPR tersebut bisa dianggap sebagai kemunduran demokrasi.

Menurutnya, tindakan ini terkesan meniadakan tanggung jawab mantan presiden terhadap pelanggaran di masa lalu, khususnya terkait era Soeharto yang banyak dikaitkan dengan pelanggaran HAM dan maraknya praktik KKN.

1 2Laman berikutnya

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Back to top button