Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 Disebut Legalkan Seks Bebas, Benarkah?
“Pertama, kepentingan terbaik bagi korban, keadilan dan kesetaraan gender, dan kesetaraan hak dan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas, akuntabilitas, independen kehati-hatian, konsisten, dan jaminan ketidakberulangan kembali,” papar dia.
Prinsip pencegahan itu, sebutnya, mencakup tindakan pelecehan seksual secara verbal, fisik, dan non-fisik. Namun, perbedaan aturan ini dengan Undang-Undang Perlindungan Anak adalah kategori usia.
“Kita mengidentifikasikan bahwa kebanyakan mahasiswa itu sudah tidak berusia bukan anak lagi, yaitu 18 tahun ke atas. Jadi dianggap sudah bukan anak, walaupun ada sebagian yang masih berusia 18 tahun khususnya yang baru masuk kuliah, itu sudah diatur dalam UU Perlindungan Anak,” bebernya.
Menanggapi berbagai kontroversi terhadap aturan ini, Lidya menyebut, hal ini biasa dalam pembentukan suatu aturan perundang-undangan.
Namun, sambungnya, apabila benar Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 seolah ini melegalkan seks bebas, maka diserahkan kembali kepada pemangku kebijakan.
“Kalau memang itu dianggap melanggar atau akan bias, karena ada pelegalan terhadap perzinahan. Maka, kita kembalikan ke pimpinan kita, apakah ayat itu perlu dihapus atau direvisi,” terangnya.
Namun, secara pribadi ia menilai, kontroversi itu hanyalah perbedaan persepsi dari antar pihak. Ia mengatakan, biasanya dalam suatu peraturan, maka akan ada aturan turunan lainnya.
“Kalau menurut saya ini hanya perbedaan persepsi. Biasanya nantinya akan ada aturan turunan yang membahas tentang hukuman terhadap pelanggaran-pelanggaran dari aturan itu,” tandanya.(afs/sis)