Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 Disebut Legalkan Seks Bebas, Benarkah?

CIANJURUPDATE.COM, Cianjur – Peraturan Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Permendikbud Ristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di perguruan tinggi, terus menuai pro dan kontra.

Hal ini dikarenakan, dalam peraturan tersebut tepatnya di pasal 5 ayat 2, ada frasa “tanpa persetujuan korban”. Oleh berbagai pihak, hal itu dinilai melegalkan perzinahan atau seks bebas di lingkungan kampus.

Ketua Harian Pusat Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kabupaten Cianjur, Lidya Indayani Umar menilai, tujuan pemerintah membuat aturan ini adalah untuk perlindungan terhadap korban.

“Kalau tujuan perlindungan apapun itu saya sebagai seorang aktivis perempuan dan anak, saya anggap ini hal yang baik dan penting. Karena kalau untuk pencegahan penangan kekerasan seksual di lingkungan pendidikan sudah ada sejak dulu, sekarang khusus untuk lingkungan perguruan tinggi,” ujar Lidya kepada Cianjur Today, Kamis (18/11/2021).

Ia mengaku, sangat menyambut baik adanya Permendikbud Nomor 30 tahun 2021 tersebut. Mengingat, lanjut dia, banyak pemberitaan yang memperlihatkan kasus pelecehan seksual terhadap mahasiswa.

“Di pemberitaan banyak sekali kasus mahasiswa yang menjadi korban kekerasan seksual. Baik dilakukan oleh dosen ataupun rekan teman kuliahnya di lingkungan kampus,” jelas dia.

Oleh karena itu, kata Lidya, aturan seperti ini adalah inovasi yang baik. Ia pun menjelaskan, pencegahan kekerasan seksual dalam aturan itu dilakukan dengan berbagai prinsip.

“Pertama, kepentingan terbaik bagi korban, keadilan dan kesetaraan gender, dan kesetaraan hak dan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas, akuntabilitas, independen kehati-hatian, konsisten, dan jaminan ketidakberulangan kembali,” papar dia.

Prinsip pencegahan itu, sebutnya, mencakup tindakan pelecehan seksual secara verbal, fisik, dan non-fisik. Namun, perbedaan aturan ini dengan Undang-Undang Perlindungan Anak adalah kategori usia.

“Kita mengidentifikasikan bahwa kebanyakan mahasiswa itu sudah tidak berusia bukan anak lagi, yaitu 18 tahun ke atas. Jadi dianggap sudah bukan anak, walaupun ada sebagian yang masih berusia 18 tahun khususnya yang baru masuk kuliah, itu sudah diatur dalam UU Perlindungan Anak,” bebernya.

Menanggapi berbagai kontroversi terhadap aturan ini, Lidya menyebut, hal ini biasa dalam pembentukan suatu aturan perundang-undangan.

Namun, sambungnya, apabila benar Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 seolah ini melegalkan seks bebas, maka diserahkan kembali kepada pemangku kebijakan.

“Kalau memang itu dianggap melanggar atau akan bias, karena ada pelegalan terhadap perzinahan. Maka, kita kembalikan ke pimpinan kita, apakah ayat itu perlu dihapus atau direvisi,” terangnya.

Namun, secara pribadi ia menilai, kontroversi itu hanyalah perbedaan persepsi dari antar pihak. Ia mengatakan, biasanya dalam suatu peraturan, maka akan ada aturan turunan lainnya.

“Kalau menurut saya ini hanya perbedaan persepsi. Biasanya nantinya akan ada aturan turunan yang membahas tentang hukuman terhadap pelanggaran-pelanggaran dari aturan itu,” tandanya.(afs/sis)

Exit mobile version