CIANJURUPDATE.COM, Cianjur – Lima petani di Desa Cibokor, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Cianjur menggugat PT Gunung Manik, BPN Cianjur, dan pihak yang menguasai tanah sekitar 1.4 hektare karena diduga telah melakukan penyerobotan lahan. Mereka mengaku memperjuangkan tanah warisan orang tua sejak tahun 1975.
Para petani yang menggugat yaitu Ukin Bin Sar’i, Adeng, Cucun, Dede, Syarifudin dan Nengsih. Mereka merupakan anak dan cucu dari pemilik surat girik pertama yang bernama Sar’i bin Entuk.
“Legal standing adalah sebagai penggugat secara hierarki jelas keturunan ahli waris menuntut haknya. Zudah melalui proses kekeluargaan tapi tetap tergugat menguasai objek sengketa,” kata OK Joesli di kantor Hukum OK Joesli, Jumat (21/2/2020).
Ia mendengar cerita dari kliennya. Dulu lahan keluarga mereka pernah dipinjam pakai atau disewakan ke PT Gunung Manik. Namun ternyata tanah tersebut malah dikuasai Gunung Manik dengan alasan masuk HGU.
“Yang menjadi pertanyaan apakah objek ini benar masuk HGU, sedangkan bukti girik C no 869 atas nama Desa Cibitung itu milik Sar’i bin Entuk. Lalu setelah desa dimekarkan nomor giriknya menjadi 2294/896,” tambahnya.
Terus Berjuang
Kekuatan kepemilikan sudah lebih 20 tahun dibuktikan adanya pajak bumi dan bangunan yang dibayar Adeng. “Dari pihak kami tetap akan memperjuangkan hak petani. Sepengetahuan kami penentuan HGU itu tanah negara atau tanah hutan bukan tanah yang ada giriknya atas nama warga,” tambahnya.
Pihaknya sudah bersedia berdamai. Namun PT Gunung Manik tetap ngotot untuk sidang. Bahkan Badan Pertanahan Cianjur (BPN) ikut menjadi tergugat.
“BPN juga turut menjadi tergugat 2 karena mengeluarkan sertifikat HGU, nomor 90 tahun 2011, 04/HGU BPNRI/2011,” tambahnya.
Pihaknya meminta Pengadilan Negeri Cianjur berwenang mengadili karena lokasi berada di Cianjur. Dalam persidangan tergugat 1 PT Gunung Manik dan tergugat 3 dituntut perbuatan melawan hukum atau penyerobotan tanah. Selain itu, pengadilan juga harus menyatakan batal demi hukum sertifikat HGU yang dikeluarkan BPN.
Ia meminta pengadilan juga menghukum tergugat 1 dan 3 dan siapa saja untuk segera mengosongkan bangunan di atasnya. “Setelah saya survei, objek sawah ini sangat jauh dari perkebunan Gunung Manik, apakah ini mungkin diaku sebagai lahan HGU,” tuturnya.
Petani juga menuntut kerugian materi sejak dikuasai sampai 2019 sebesar 312 juta. Lalu membayar 8 juta setiap tahunnya, karena sudah hampir 39 tahun.
“Petani juga menuntut uang paksa sebesar Rp 500 ribu setiap harinya,” kata OK.
Sementara itu seorang petani yang merasa dirugikan, Akun (80), mengatakan, keluarganya sejak tahun 1975 sudah mencoba berbagai upaya baik melalui desa dan pihak lainnya. Bahkan ia pernah merugi Rp50 juta.
“Ada orang yang datang ke rumah janji bisa urus. Namun sampai sawah saya di daerah lain habis terjual urusan ini belum selesai juga,” tuturnya.
Ia pun berharap pengadilan memproses sesuai dengan fakta hukum yang ada.(riz)