CIANJURUPDATE.COM – Pemerintah akan menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025.
Ekonom senior Indef, Didik Rachbini, mengimbau pemerintah agar menunda kebijakan tersebut.
Rektor Universitas Paramadina ini menilai, penerapan PPN 12 persen kurang tepat dilakukan tahun depan.
BACA JUGA: Penurunan Penjualan Motor di Indonesia Jadi Bukti Melemahnya Daya Beli Masyarakat
Pasalnya, perekonomian sedang mengalami perlambatan signifikan.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan pertumbuhan ekonomi kuartal III 2024 hanya 4,95 persen (yoy).
Angka ini melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yang mencapai 5,05 persen (yoy).
“Saya kira pemerintah harus tahu realitasnya. Pertumbuhan ekonomi saat ini di bawah 5 persen, 4,95 persen. Mungkin situasinya lebih buruk,” ujar Didik dilansir Kumparan, Jumat (15/11/2024).
Didik juga mengusulkan revisi UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) untuk menunda kenaikan PPN 12 persen.
Menurutnya, Presiden Prabowo perlu mengeluarkan Perppu agar penerapan PPN ini ditunda.
Ia memperingatkan bahwa memaksakan PPN 12 persen bisa merugikan penerimaan pajak dan pertumbuhan ekonomi.
Sebab, kenaikan PPN berpotensi melemahkan aktivitas bisnis dan daya beli masyarakat.
“Kita tahu PPN sangat terkait dengan kegiatan usaha dan daya beli. Jika dunia usaha mulai tertekan dan ekspor-impor sulit, penerimaan pajak bisa meleset dari target. Target pertumbuhan ekonomi 8 persen seperti euforia semata,” tambah Didik.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani menanggapi usulan dari Anggota Komisi XI Fraksi PKS, Muhammad Kholid, terkait kepastian kenaikan tarif PPN 12 persen pada 2025.
“Kami sudah bahas dengan bapak-ibu sekalian, sudah ada UU-nya. Kita perlu persiapan yang matang agar kebijakan ini berjalan dengan baik,” kata Sri Mulyani saat rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI, Rabu (13/12/2024).