Gaya Hidup

RA Kartini Dalam Bingkai Pandemi, Begini Sejarah dan Biografinya

Setelah perkawinan itu, maka ayah Kartini diangkat menjadi Bupati di Jepara menggantikan ayah dari RA Woerjan, yaitu Titrowikromo.

Perjuangan RA Kartini

Sebagai seorang bangsawan, RA Kartini berhak memperoleh pendidikan. Ayahnya kemudian menyekolahkan Kartini di Europese Lagere School (ELS).

Di sekolah tersebut, Kartini belajar bahasa Belanda. Namun, pada masa itu, anak perempuan harus tinggal di rumah untuk ‘dipingit’.

Alhasil, Kartini hanya bersekolah hingga usia 12 tahun. Di sinilah sejarah perjuangan RA Kartini bermula.

Selama tinggal di rumah, Kartini belajar sendiri dan mulai menulis surat-surat kepada teman korespondensinya yang kebanyakan berasal dari Belanda.

Salah satu teman yang mendukung Kartini adalah Rosa Abendanon. Darinya, Kartini mulai sering membaca buku-buku dan koran Eropa yang menyulut api baru di dalam hati Kartini, yaitu tentang kemajuan berpikir perempuan Eropa.

Kemudian, timbul keinginan Kartini untuk memajukan perempuan pribumi yang saat itu berada pada status sosial yang sangat rendah.

Gemar Membaca Buku

RA Kartini banyak membaca surat kabar atau majalah-majalah kebudayaan Eropa yang menjadi langganannya yang berbahasa Belanda.

Bahkan di usianya yang ke-20, Kartini banyak membaca buku-buku karya Louis Coperus yang berjudul De Stille Kraacht, karya Van Eeden, Augusta de Witt.

Ia juga membaca berbagai roman beraliran feminis yang kesemuanya berbahasa Belanda.

Tak hanya itu, Kartini juga membaca buku karya Multatuli yang berjudul Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta.

Kartini juga mulai banyak membaca De Locomotief, surat kabar dari Semarang yang ada di bawah asuhan Pieter Brooshoof.

Laman sebelumnya 1 2 3 4 5Laman berikutnya

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Back to top button