Gaya Hidup

RA Kartini Dalam Bingkai Pandemi, Begini Sejarah dan Biografinya

Sekolah tersebut berada di sebuah bangunan yang kini digunakan sebagai Gedung Pramuka.

Dari pernikahannya, Kartini memiliki seorang anak yang diberi nama Soesalit Djojoadhiningrat.

Anak pertama yang juga anak semata wayang Kartini lahir pada 13 September 1904.

Beberapa hari kemudian, pada (17/9/1904) Kartini menghembuskan napas terakhirnya pada usia 25 tahun dan dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang.

Berkat kegigihan RA Kartini, kemudian didirikan “Sekolah Kartini”, Sekolah Wanita oleh Yayasan Kartini di Semarang pada 1912 dan kemudian di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon, dan daerah lainnya.

Yayasan Kartini ini didirikan oleh keluarga Van Deventer, seorang tokoh politik Etis.

Sejarah Ditetapkan Hari Kartini

Wafatnya RA Kartini tidak serta-merta mengakhiri perjuang RA Kartini semasa hidupnya.

Salah satu temannya di Belanda, Mr JH Abendanon yang ketika itu menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama dan Kerajinan Hindia Belanda, mengumpulkan surat-surat yang dulu pernah dikirimkan oleh Kartini kepada teman-temannya di Eropa.

Abendon kemudian membukukan seluruh surat itu dan diberi nama Door Duisternis tot Licht yang jika diartikan secara harfiah berarti “Dari Kegelapan Menuju Cahaya”.

Buku tersebut terbit pada tahun 1911 dan cetakan terakhir terdapat surat “baru” dari Kartini.

Namun, pemikiran-pemikiran Kartini dalam surat-suratnya tidak pernah bisa dibaca oleh beberapa orang pribumi yang tidak dapat berbahasa Belanda.

Pada 1922, Balai Pustaka menerbitkan versi translasi buku dari Abendanon dengan bahasa Melayu yang diberi judul “Habis Gelap Terbitlah Terang: Buah Pikiran”.

Laman sebelumnya 1 2 3 4 5Laman berikutnya

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Back to top button