CIANJURUPDATE.COM – Bank Indonesia (BI) kembali mengingatkan para pedagang untuk tidak menolak pembayaran tunai di tengah berkembangnya tren transaksi non-tunai.
BI juga menegaskan bahwa biaya layanan QRIS harus ditanggung oleh pedagang, bukan dibebankan kepada konsumen.
Pelanggaran atas ketentuan ini dapat dikenakan sanksi sesuai peraturan yang berlaku.
Digitalisasi ekonomi di Indonesia semakin pesat, ditandai dengan meningkatnya penggunaan sistem pembayaran non-tunai atau cashless.
Hal ini mendorong sejumlah pedagang untuk menolak pembayaran tunai demi alasan kenyamanan dan keamanan.
Namun, pertanyaan pun muncul: apakah pedagang berhak menolak pembayaran tunai?
BACA JUGA: BI Ingatkan Biaya QRIS Ditanggung Pedagang, Pelanggaran Dapat Berujung Sanksi
Menurut Deputi Gubernur BI, Filianingsih Hendarta, pedagang tidak boleh menolak pembayaran tunai.
Dalam keterangannya pada Sabtu (19/10/2024), Filianingsih menegaskan bahwa konsumen yang menghadapi penolakan pembayaran tunai dapat melaporkan pedagang tersebut kepada BI.
Selain itu, pedagang yang membebankan biaya QRIS kepada konsumen dapat dikenakan sanksi.
Sanksi terhadap pedagang yang melanggar tercantum dalam Peraturan Bank Indonesia tentang Penyedia Jasa Pembayaran.
Pasal 52 peraturan tersebut secara tegas melarang penyedia barang atau jasa mengenakan biaya tambahan atas penggunaan jasa pembayaran.
Jika ditemukan pelanggaran, BI berwenang meminta penyedia jasa pembayaran (PJP) untuk menghentikan kerja sama dengan merchant yang terlibat.
BACA JUGA: Pintar Melihat Peluang, Nurul Ramadina Sukses Rintis Bisnis Buket di Cianjur
Bahkan, pedagang yang terus melanggar dapat dimasukkan ke dalam daftar hitam (blacklist).
Filianingsih juga mengungkapkan bahwa masih ada praktik pedagang yang membebankan biaya Merchant Discount Rate (MDR) dari layanan QRIS kepada pelanggan.
Biaya MDR sebesar 0,3% dari nilai transaksi yang melebihi Rp 100 ribu dikenakan kepada pedagang, khususnya usaha mikro.
BI juga menegaskan bahwa pedagang tidak boleh menolak pembayaran dengan koin.
Sesuai Pasal 23 Undang-undang Mata Uang, seluruh pihak di Indonesia diwajibkan menerima rupiah sebagai alat pembayaran yang sah.
Deputi Gubernur BI, Doni Primanto Joewono, menyatakan bahwa meskipun transaksi non-tunai terus berkembang, pedagang tetap wajib menyediakan opsi pembayaran tunai.
Hal ini sesuai dengan amanat UU Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, yang melarang penolakan rupiah dalam bentuk fisik.
BI pun terus mencetak uang tunai, baik dalam bentuk uang kertas maupun koin, guna memenuhi kebutuhan masyarakat.
Sementara itu, BI juga terus mendorong penggunaan pembayaran non-tunai karena manfaatnya yang dapat meningkatkan efisiensi ekonomi dan mengurangi risiko pemalsuan uang.
Meski demikian, dengan karakteristik Indonesia yang memiliki demografi beragam dan kondisi geografis yang terpisah-pisah, uang tunai masih sangat diperlukan di berbagai daerah.
Kepala Departemen Pengelolaan Uang BI, Marlison Hakim, menjelaskan bahwa rupiah dalam berbagai bentuknya, baik tunai, uang elektronik, maupun digital, merupakan alat pembayaran yang sah.
Namun, masyarakat harus tetap menghormati kewajiban penerimaan uang tunai sebagai bentuk sah dari rupiah.