KLIK CIANJUR – Hari ini, 12 Juli 2022 menjadi hari jadi Cianjur yang ke 345. Dengan, usianya yang mencapai tiga abad, jejak sejarah Kabupaten Cianjur memiliki kisah yang cukup panjang. berdasarkan sumber-sumber tertulis, semenjak tahun 1614, daerah Gunung Gede serta Gunung Pangrango ada di bawah Kesultanan Mataram.
Dilansir dari laman resmi Pemprov Jabar, pada tanggal 12 Juli 1677, Raden Wiratanu putra R.A. Wangsa Goparana Dalem Sagara Herang menjalankan tugas mempertahankan daerah Cimapag dari kekuasaan kolonial Belanda yang mulai menanamkan kuku-kukunya di negeri nusantara. Usaha Wiratanu guna mempertahankan daerah ini pun erat kaitannya dengan desakan Belanda/VOC ketika itu yang hendak mencoba menjalin kerjasama dengan Sultan Mataram Amangkurat I.
Akan tetapi sikap patriotik Amangkurat I yang tidak mau bekerjasama dengan Belanda/VOC membuat ia harus rela meninggalkan keraton. Kejadian ini memberi arti bahwa usai itu Mataram terlepas dari wilayah kekuasaannya.
Pada pertengahan abad ke-17, ada perpindahan rakyat dari Sagara Herang yang mencari tempat baru di pinggir sungai sebagai tempat bertani serta bermukim. Babakan atau kampung mereka dinamakan berdasarkan nama sungai dimana pemukiman itu terletak.
Selain itu, Raden Djajasasana putra Aria Wangsa Goparana dari Talaga keturunan Sunan Talaga, terpaksa meninggalkan Talaga karena masuk Agama Islam. Sementara para Sunan Talaga waktu itu masih kuat memeluk agama Hindu.
Sebagaimana daerah beriklim tropis, di wilayah Cianjur utara tumbuh subur tanaman sayuran, teh serta tanaman hias. Di wilayah Cianjur Tengah tumbuh dengan baik tanaman padi, kelapa serta buah-buahan. Sementara di wilayah Cianjur Selatan tumbuh tanaman palawija, perkebunan teh, karet, aren, cokelat, kelapa serta tanaman buah-buahan. Potensi lain di wilayah Cianjur Selatan antara lain obyek wisata pantai yang masih alami serta menantang investasi.
Aria Wangsa Goparana kemudian mendirikan Nagari Sagara Herang serta menyebarkan Agama Islam ke daerah sekitarnya. Sementara itu Cikundul yang sebelumnya hanyalah merupakan sub nagari menjadi Ibu Nagari tempat pemukiman rakyat Djajasasana. Beberapa tahun sebelum tahun 1680 sub nagari tempat Raden Djajasasana disebut Cianjur (Tsitsanjoer-Tjiandjoer).
Filosofi Tiga Pilar Budaya: Ngaos, Mamaos, Maenpo
Ngaos merupakan tradisi mengaji yang mewarnai suasana serta nuansa Cianjur dengan masyarakat yang dilekati dengan keberagamaan. Citra sebagai daerah agamis ini konon telah dirintis semenjak Cianjur lahir sekitar tahun 1677 di mana wilayah Cianjur ini didirikan oleh para ulama serta santri tempo dulu yang gencar menyebarkan syiar Islam. ltulah sebabnya Cianjur juga sempat menerima julukan gudang santri serta kyai sehingga menerima julukan Kota Santri.
Bila dilihat sekilas sejarah perjuangan di tatar Cianjur jauh sebelum masa perang kemerdekaan, bahwa kekuatan-kekuatan perjuangan kemerdekaan pada masa itu tumbuh serta bergolak pula di pondok-pondok pesantren. Banyak pejuang-pejuang yang meminta restu para kyai sebelum berangkat ke medan perang. Mereka baru merasakan lengkap serta percaya diri berangkat ke medan juang usai menerima restu para kyai.
Mamaos merupakan seni budaya yang mendeskripsikan kehalusan budi serta rasa menjadi perekat persaudaraan serta kekeluargaan dalam tata pergaulan hidup. Seni mamaos tembang sunda Tembang Cianjuran lahir dari hasil cipta, rasa serta karsa Bupati Cianjur R. Aria Adipati Kusumahningrat yang dikenal dengan sebutan Dalem Pancaniti. la menjadi dalem tatar Cianjur sekitar tahun 1834-1862. Seni mamaos ini terdiri dari alat kecapi indung (Kecapi besar serta Kecapi rincik (kecapi kecil) serta sebuah suling yang mengiringi panembanan atau juru. Pada umumnya syair mamaos ini lebih banyak mengungkapkan puji-pujian akan kebesaran Tuhan dengan segala hasil ciptaan-Nya.
Maenpo merupakan seni bela diri pencak silat yang mendeskripsikan keterampilan serta ketangguhan. Pencipta serta penyebar maenpo ini merupakan R. Djadjaperbata atau dikenal dengan nama R. H. Ibrahim, aliran ini memiliki ciri permainan rasa yaitu sensitivitas atau kepekaan yang mampu membaca segala gerak lawan ketika anggota tubuh saling bersentuhan. Dalam maenpo dikenal ilmu Liliwatan (penghindaran) serta Peupeuhan (pukulan).
Apabila filosofi itu diresapi, pada hakikatnya merupakan simbol rasa religiusitas, kebudayaan serta kerja keras. Dengan religiusitas sasaran yang hendak dicapai merupakan terciptanya keimanan serta ketaqwaan masyarakat melalui pembangunan akhlak yang mulia. Dengan kebudayaan, masyarakat Cianjur hendak mempertahankan keterletakannya sebagai masyarakat yang berbudaya, memiliki adab, tata krama serta sopan santun dalam tata pergaulan hidup.
Dengan kerja keras sebagai implementasi dari filosofi maenpo, masyarakat Cianjur selalu menunjukan semangat keberdayaan yang tinggi dalam menambah kualitas kehidupan. Liliwatan, bukan cuma permainan beladiri dalam pencak silat, akan teakan tetapi juga ditafsirkan sebagai sikap guna menghindarkan diri dari perbuatan yang maksiat. Sementara peupeuhan atau pukulan ditafsirkan sebagai kekuatan di dalam menghadapi berbagai tantangan dalam hidup.
Nah itu dia, sekilas tentang sejarah Kabupaten Cianjur. Di usianya yang menginjak 345, diharapkan Kabupaten Cianjur bisa menjadi daerah yang berdikari dan mandiri. Selain itu, semoga kesejahteraan masyarakat senantiasa dikaruniakan ke tatar Kota Santri.
Artikel Terkait