Nasional

Tidak Padam, Kisah Pilu Arie Hanggara yang Tewas di Tangan Ayah dan Ibu Tiri

Tino yang sadar kalau dirinya pengangguran memutuskan untuk melamar kerja ke berbagai tempat. Teman-teman juga mulai dihubungi, tapi semuanya tak ada yang memberi harapan. Kondisi ini membuat Santi sang istri mulai cerewet, ditambah anak-anak yang mulai membandel sesuai dengan perkembangan usianya.

Awal Penyiksaan

Hingga Santi menyoal sikap anak-anaknya membuat Tino mulai bersikap keras pada Arie dan 2 saudaranya. Entah kenapa, kemarahan Tino dan Santi tertumpu pada Arie, anak kedua Tino yang juga murid kelas 1 SD Perguruan Cikini, Jakarta Pusat.

Arie dikenal sebagai anak yang lincah, lucu, kadang bandel, dan senang bercanda. Sedangkan di mata gurunya, Arie dikenal sebagai anak yang rajin dan pandai. Nilainya untuk pelajaran matematika 8,5. Akan tetapi bagi Tino dan Santi, kenakalan Arie sudah melewati batas.

Penyiksaan terhadap Andi bermula mulai 3 November 1984, ketika Arie dituduh Tino dan Santi mencuri uang Rp1.500. Arie menjerit kesakitan ketika dihujani pukulan mulai dari muka, tangan, kaki, dan bagian belakang tubuhnya oleh kedua orangtuanya karena tak mau mengaku.

Tak sampai di situ, Tino juga mengikat kaki dan tangan Arie. Kemudian, seperti layaknya pencuri Arie disuruh jongkok di kamar mandi. “Ayo minta maaf dan mengaku,” teriak Santi.

Merasa tidak melakukan apa yang dituduhkan kepadanya atau sebagai ekspresi pembangkangan, Arie tetap membisu. Penasaran, Tino dan Santi melepas ikatan tangan Arie dan menyiramkan air dingin ke tubuh sang bocah. Santi meminta tambahan hukuman dengan menyuruh Arie jongkok sambil memegang kuping. Anak tidak berdosa ini melaksanakan hukumannya sambil mengerang menahan sakit.

Laman sebelumnya 1 2 3 4Laman berikutnya

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Back to top button