Tidak Padam, Kisah Pilu Arie Hanggara yang Tewas di Tangan Ayah dan Ibu Tiri

CIANJURUPDATE.COM – Sebuah makam berusia puluhan tahun berukuran 2×1 meter terletak di Blok AA II Tempat Pemakaman Umum Jeruk Purut, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Itu adalah makam seorang anak bernama Arie Hanggara, yang hingga saat ini menjadi penanda kekejaman orang tua serta ibu tiri terhadap anaknya.

Arie Hanggara, bocah dengan kisah pilu yang tewas dianiaya orangtuanya, Machtino bin Eddiwan alias Tino dan ibu tirinya Santi binti Cece. Kisah tragis Arie yang terjadi pada November 1984 usianya tujuh tahun, penyiksaan yang menjadi penyebabnya tewas.

Hingga menjadi berita utama di media-hingga berhari-hari. Dari proses pemeriksaan kepolisian hingga pengadilan. Sejak itu, nama Arie lekat di ingatan publik sebagai korban kekejaman orang tua.

Meski tragedi tersebut telah terjadi puluhan tahun silam, ceritanya tidak pernah usang oleh waktu. Terus berulang dan tak bisa dilupakan, berikut kisah pilu Arie Hanggara semasa hidup.

Baca Juga: Tidak Padam, Kisah Pilu Arie Hanggara yang Tewas di Tangan Ayah dan Ibu Tiri

Arie Hanggara Lahir di Bogor, Meninggal di Jakarta

Arie Hanggara nama dari bocah berusia 8 tahun yang lahir di Bogor, Jawa Barat, pada 21 Desember 1976 dan meninggal di Jakarta pada 8 November 1984.

Ayahnya,Tino dan ibunya, Dahlia Nasution kerap bersitegang. Terjadilah perceraian, Dahlia akhirnya memutuskan kembali ke Depok dan Tino menitipkan anak-anaknya ke rumah sang nenek.

Tak lama kemudian, Tino kembali mengambil 3 anaknya yaitu Anggi, Arie, dan Andi. Melanjutkan hidup bersama istri barunya bernama Santi. Di sebuah rumah kontrakan kecil di kawasan Mampang, Jakarta Selatan, mereka tinggal. Namun dalam laporan Tempo edisi 13 April 1985, ayahnya dan Santi belum resmi sebagai pasangan suami istri meski telah tinggal bersama. Masyarakat yang menganggap Santi sebagai ibu tirinya kelak akan menjadikan status “ibu tiri” sebagai mimpi buruk bagi anak-anak.

Tino yang sadar kalau dirinya pengangguran memutuskan untuk melamar kerja ke berbagai tempat. Teman-teman juga mulai dihubungi, tapi semuanya tak ada yang memberi harapan. Kondisi ini membuat Santi sang istri mulai cerewet, ditambah anak-anak yang mulai membandel sesuai dengan perkembangan usianya.

Awal Penyiksaan

Hingga Santi menyoal sikap anak-anaknya membuat Tino mulai bersikap keras pada Arie dan 2 saudaranya. Entah kenapa, kemarahan Tino dan Santi tertumpu pada Arie, anak kedua Tino yang juga murid kelas 1 SD Perguruan Cikini, Jakarta Pusat.

Arie dikenal sebagai anak yang lincah, lucu, kadang bandel, dan senang bercanda. Sedangkan di mata gurunya, Arie dikenal sebagai anak yang rajin dan pandai. Nilainya untuk pelajaran matematika 8,5. Akan tetapi bagi Tino dan Santi, kenakalan Arie sudah melewati batas.

Penyiksaan terhadap Andi bermula mulai 3 November 1984, ketika Arie dituduh Tino dan Santi mencuri uang Rp1.500. Arie menjerit kesakitan ketika dihujani pukulan mulai dari muka, tangan, kaki, dan bagian belakang tubuhnya oleh kedua orangtuanya karena tak mau mengaku.

Tak sampai di situ, Tino juga mengikat kaki dan tangan Arie. Kemudian, seperti layaknya pencuri Arie disuruh jongkok di kamar mandi. “Ayo minta maaf dan mengaku,” teriak Santi.

Merasa tidak melakukan apa yang dituduhkan kepadanya atau sebagai ekspresi pembangkangan, Arie tetap membisu. Penasaran, Tino dan Santi melepas ikatan tangan Arie dan menyiramkan air dingin ke tubuh sang bocah. Santi meminta tambahan hukuman dengan menyuruh Arie jongkok sambil memegang kuping. Anak tidak berdosa ini melaksanakan hukumannya sambil mengerang menahan sakit.

Meski Arie telah mendapat perlakuan seperti itu, menurut Khadidjah seperti yang dikutip dari Tirto, Arie tidak memperlihatkan dirinya mengalami tekanan mental. Jika luka di tubuhnya ketahuan oleh guru, ia menjawabnya karena jatuh.

Kian Memuncak

Kekejaman Tino dan Santi terus berlanjut dan mencapai puncaknya pada Rabu 7 November 1984. Arie kembali dituduh mencuri uang Rp 8.000. Bocah yang mengaku tidak mencuri ini kembali dianiaya.

Santi dengan gemas menampari Arie yang berdiri ketakutan.
Masih juga tak mengaku, Tino mengangkat sapu dan memukuli seluruh tubuh bocah itu. Suara tangis kesakitan Arie pada pukul 22.30 WIB sayup-sayup didengar tetangganya. “Menghadap tembok,” teriak Santi seperti dituturkan sejumlah saksi.

Kesal karena kata maaf tak kunjung terucap, Santi kemudian datang dengan menenteng pisau pengupas buah dan sekali lagi mengancam Arie untuk meminta maaf. Namun, lagi-lagi Arie menutup mulut. Dengan penuh emosi, Santi menjambak dan menodongkan pisaunya ke muka bocah yang sudah sangat ketakutan itu.

Setelah sang ibu tiri meninggalkan “ruang penyiksaan”, giliran Toni datang dan memukul Arie yang sudah sangat lemah itu. “Berdiri terus di situ,” perintah sang ayah.

Jarum jam menunjukkan pukul 01.00 WIB ketika Toni bangun dan menengok Arie. Ia menjumpai bocah itu sudah tidak berdiri lagi dan tengah duduk. Minuman di gelas yang diperintahkan tidak boleh diminum, sudah bergeser letaknya.

Seketika Toni seolah naik darah dan kembali menyiksanya. Gagang sapu mulai menghujani tubuh anak malang ini. Toni juga membenturkan kepalanya ke tembok. Akhirnya, anak yang lincah ini tersentak dan menggelosor jatuh. Sang ayah kembali beranjak ke kamar tidur.

Hingga akhirnya pada pukul 03.00 WIB, Toni bangun dan melihat anaknya sudah terbujur kaku. Sang ayah jadi panik dan bersama Santi melarikan Arie ke rumah sakit. Namun, dokter yang memeriksanya mengatakan Arie sudah tidak bernyawa. Hari itu, Kamis 8 November 1984.

Di makam Arie Hanggara terlihat tulisan: maafkan mama, maafkan papa. Konon, sang ayah kandung dan ibu tiri yang meminta tulisan tersebut. Kata maaf yang terlambat. Makam di TPU Jeruk Purut itu jadi saksi pilu kekerasan terhadap anak.

Tetangga mengaku pada malam itu, dan juga hari-hari sebelumnya, mendengar hardikan keras “Hadap tembok.” Tapi mereka hanya diam, tak bertindak, tak menolong. Karena segan campur urusan rumah tangga orang lain.

Arie Hanggara Menjadi Film Legendaris

Menjadi kisah dan kasus yang mengemparkan, setahun setelah kejadian terjadi, hingga akhirnya sebuah film yang disutradarai Frank Rorimpandey mengisahkan nasib tragis Arie.

Film berjudul “Arie Hanggara” ini mendapat tempat di hati para penonton. Dibintangi Yan Cherry Budiono sebagai Arie, Deddy Mizwar memerankan Toni dan Joice Erna sebagai ibu tiri.

Dengan durasi yang cukup panjang, 220 menit, kemudian menjadi film dengan jumlah penonton terbanyak pada 1985. Menurut data Perfin pada 1986, penonton Arie Hanggara sekitar 382.708 orang.

Itulah seputar kisah pilu Arie Hanggara, seolah mimpi buruk yang telah terjadi dalam kehidupan nyata.(ct4/rez)

Diolah dari berbagai sumber

Exit mobile version