Tragedi KRI Nanggala 402 jadi Konten Lelucon, Psikolog: Rasa Empatinya Sudah Hilang

CIANJURUPDATE.COM, Cianjur – Tragedi tenggelamnya KRI Nanggala 402, membuat banyak masyarakat bersimpati. Namun tak sedikit juga yang malah membuat konten lelucon untuk panjat sosial.

Hal tersebut tentunya membuat geram masyarakat Indonesia. Karena dinilai dapat melukai hati para keluarga korban yang ditinggalkan.

Psikolog Retno Lelyani Dewi mengatakan, perilaku pembuat konten tersebut dapat dianalisa. Mereka melakukan hal tersebut bisa karena kurang berempati dan sulit merasakan kesedihan keluarga, kesatuan, dan orang-orang yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung.

“Ada indikasi bahwa memang sulit merasakan kesedihan dari sebuah kehilangan, sehingga rasa empatinya sudah hilang,” ujar Retno kepada Cianjur Update, Kamis (29/4/2021).

Bahkan, lanjut dia, bagi pelaku yang masih berusia remaja, pelaku tidak memiliki ikatan emosional dengan kehilangan anggota keluarga.

Selain itu, tindakan pelaku yang dengan mudahnya di media sosial karena hanya ingin terkenal melalui viralnya tindakan yang dilakukan.

Ia menilai, fenomena yang terjadi ini sangat menyita perhatian serius. Dirinya pun menyarankan agar para pelaku memeriksakan kejiwaannya. Pasalnya dengan mudahnya, membuat sebuah konten dari musibah yang terjadi.

“Harus diperiksa kejiwaan mereka untuk memastikan apa sebenarnya yang ada di dalam pikiran mereka ini,” jelasnya.

Sementara itu, Pengamat Komunikasi Universitas Putra Indonesia (Unpi) Cianjur, Astri D Andriani mengungkapkan, rata-rata dari para pelaku tersebut merupakan generasi milenial yang memang kental dengan teknologi digital. Sehingga, tak heran generasi milenial identik dengan generasi digital.

“Mengenai kasus yang ramai di media sosial, generasi digital ini memiliki ciri-ciri yang dapat ditelaah dari aspek identitas, privasi, kebebasan berekspresi, dan proses belajar. Selain itu, ada tiga ciri yakni 3C, yaitu connected, creative, dan confidence,” paparnya.

Ia menyebut, connected berarti generasi ini merupakan pribadi yang pandai bersosialisasi terutama dalam komunitas yang diikuti.

Generasi ini juga aktif berselancar di media sosial dan internet. Mereka sangat fasih menggunakan facebook, Twitter, dan Instagram maupun media sosial lainnya.

Creative berarti generasi ini terdiri dari orang-orang yang biasa berpikir out of the box, kaya akan ide dan gagasan, serta mampu mengkomunikasikan ide dan gagasan itu dengan cemerlang.

Generasi milenial termasuk generasi kreatif, salah satu buktinya adalah tumbuhnya industri startup dan industri kreatif yang melibatkan anak muda.

Terakhir, confidence berarti bahwa anak generasi ini merupakan kumpulan orang-orang yang sangat percaya diri, berani mengemukakan pendapat, dan tidak sungkan berdebat di depan publik.

“Karakter khas generasi milenial tersebut yang menurut saya memotivasi (mendorong, red) netizen membuat konten bernada candaan terkait KRI Nanggala 402 di tengah suasana berduka,” paparnya.

Menurutnya, konten tersebut tidak sama sekali mencerminkan simpati dan empati yang khas dari jati diri masyarakat Indonesia.

Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi ini menambahkan, selain karakter, pelaku melakukan hal tersebut bisa dikarekan tingkat literasi media digital yang rendah. Sehingga tidak mengetahui dampak apa yang akan ia terima dari postingan di media sosial tersebut.

Bahkan, sambungnya, John Naisbitt (2004) berpendapat bahwa ketergantungan generasi milenial terhadap internet menimbulkan kondisi sebagai Zona Mabuk Teknologi.

Sebutan ini merupakan istilah untuk menggambarkan kondisi masyarakat saat ini, di mana teknologi menghantam dengan bertubi-tubi, tapi masyarakat Indonesia belum siap membentengi diri dengan literasi.

“Harus ada (pengawasan khusus, red). Sudah banyak sebetulnya yang dilakukan pemerintah, khususnya oleh Kemeninfo. Upaya pencegahannya harus melalui gerakan nasional literasi digital,” terangnya.

Dalam gerakan tersebut, berkumpul non goverment organization (NGO), volunteer dan pegiat literasi media digital untuk menyebarkan literasi media digital di kalangan masyarakat Indonesia.

Dirinya pun berpendapat, yang mendasari netizen melakukan hal tersebut karena ingin mengaktualisasikan diri, namun tingkat literasi digital rendah.

“Sehingga kurang bijak dalam berselancar di media sosial dengan melakukan postingan-postingan yang merugikan banyak pihak,” tandasnya.(afs/sis)

Exit mobile version